Seorang Profesor dan Sepasang Sepatu saat Hujan


Prof Rubiyanto Misman, mantar rektor Unsoed yang fenomenal ingin cetak ulang buku biografinya. Buku berjudul “Biografi Rubiyanto Misman – Memenuhi Panggilan Almamater” memiliki ketebalan total lebih dari 360 halaman.  “Masa bayar, Rub? Gratis,” begitu permintaan teman-teman seangkatan SMA di Cilacap yang mengharapkan bisa memiliki buku alumni SMA Cilacap – sekarang SMA Negeri 1 Cilacap tersebut.

Buku Biografi Rubiyanto Misman.


Prof Rubi berencana mencetak 100 eksemplar. Saya yang membantu menyusun buku itu datang untuk memberikan salinan layout dan cover buku. Dulu sudah sempat saya copy-kan di flashdisk, tetapi terselip entah di mana.

Dan, perjumpaan sekitar satu jam itu, antara 11.50 sampai 13.00 bagi saya seperti membaca ulang keseluruhan isi buku biografi tersebut. Prof Rubi memimpin Unsoed dengan cukup fenomenal. Dalam dua masa jabatan, beliau meningkatkan jumlah mahasiswa, dari sekitar 11 ribu menjadi sekitar 23 ribu.

Saya diterima di ruang keluarga, di depan tv lebar. Ini tempat yang selama ini beliau gunakan untuk menerima draf naskah, mendiskusikannya, memberikan koreksi pada masa penyusunan buku dulu. Wawancara dengan berbagai narasumber lebih banyak di Rumah Makan Alas Daun, favorit beliau.

Segera saja Prof Rubi memanggil asisten rumah tangga untuk menyiapkan teh. Dan dua cangkir teh pun tersaji ketika saya sudah membuka laptop dan menyalin ke flashdisk yang baru saya beli di Bursa Kampus – salah satu toko modern di depan Unsoed yang embrionya berasal dilahirkan oleh aktivis koperasi mahasiswa. Prof Rubi ikut andil dalam menemani lahirnya sejumlah toko modern rintisan mahasiswa-alumni penggiat koperasi di Unsoed.

Kepada saya Prof Rubi memberikan dua flashdisk kecil untuk cek isinya. Saya sempat menduga salah satunya berisi file buku biografi yang dicari. Akan tetapi ternyata bukan. Prof Rubi tidak akrab dengan laptop, flashdisk dan sebagainya. Biasanya ada asisten yang membantu. Satu flashdisk berisi lagu-lagu, termasuk di antaranya My Way, lagu kesukaan Prof Rubi. Satu flashdisk berisi makalah beliau.

Maka, demi mengurangi resiko ketlingsut lagi, saya menyiapkan label kertas yang digantung pada flashdisk baru tersebut. “Biografi Prof Rubiyanto Misman”. Demikian tertulis di label.

“Saya masih sering membaca ulang buku ini,” kata Prof Rubi. Impian Prof Rubi untuk meninggalkan catatan berupa buku atas perjalanan hidup dan perjuangannya sudah kesampaian. Perjalanan hidup dan perjuangan Prof Rubi berhimpit dengan sejarah Unsoed (beliau adalah mahasiswa angkatan I dari Fak Biologi Unsoed. Juga alumnus pertama; penggagas dan sekaligus menjadi ketua perta, Ikatan Alumni Unsoed;  dekan termuda pada masanya (34 tahun menjadi Dekan Fak Biologi Unsoed); rektor pertama yang merupakan alumnus).

Sejumlah menteri dan rektor yang menjabat pada masa Prof Rubi menjadi rektor ikut membubuhkan catatan dalam buku bersampul biru tersebut.

Ketika diskusi kami beralih ke masalah dukungan sejumlah alumni perguruan tinggi menjelang pemilu, di luar hujan mulai turun. Perlahan-lahan menderas. Saya teringat sepeda motor yang saya parkir di samping rumah di luar. Tetapi saya sudah antisipasi, helm selalu saya bawa masuk. Yang pasti aman. Hanya memang saya tidak membawa sandal “amphibi”.

Saya sempat menanyakan proses pendirian poltek olahraga impian beliau. Prof Rubi menggemari olahraga sejak muda. Prof Rubi pernah menggunakan forum olahraga menjadi salah satu cara mempromosikan Unsoed.

“Masih menunggu ini. Kemarin ditawari dari kementrian tetapi seperti SGO. Padahal impian saya menyangkut tiga; atlit, kepelatihan dan manajemen bisnis olahraga,” kata Prof Rubi.

“Ini masih punya impian menulis buku sejarah Unsoed,” cetus beliau.

Saya menyeruput teh dalam cangkir yang tinggal separuh. Saya ingat, impian tersebut sudah beberapa lama beliau komunikasikan dengan saya. Hanya saja, tampaknya belum menemukan pintu paling tepat untuk memulai penulisan buku sejarah tersebut. “Mas, nanti dibantu ya,” kata Prof Rubi pada suatu malam melalui telepon whatsapp tentang buku sejarah Unsoed itu, mungkin setengah tahun lalu. Saat itu saya sedang di Taman Balai Kemambang sembari menunggu hasil sebuah tes darah di laboratorium PMI.

Ketika Prof Rubi minum teh dari cangkir dengan bentuk yang sama, dan saya mengambil kueh kecil yang beliau sempat tawarkan, terdengar suara adzan dzuhur. Saya melirik jam dinding.
Kami masih ngobrol ke sana kemari ketika hujan makin deras. Termasuk soal wisuda. “Kalau wisuda fakultas kedokteran saya selalu diundang. Mungkin mereka merasa saya yang melahirkan fakultas tersebut,” kata Prof Rubi.

“Hujan sekarang susah sekali diduga,” katanya lagi.

Tetapi saya memutuskan harus pamit. Saya telah bertahan di situ beberapa menit sesudah suara adzan. Dan beliau tidak pernah menyela meninggalkan tamu untuk menjalankan sholat. Maka, sayalah yang mesti memutus perbincangan dan pamitan.

“Bawa jas hujan?”
“Bawa, Prof. Paling nanti sepatu saja yang saya masukan jok.”
“Butuh tas plastik?”

“Boleh, kalau ada,” jawabku. Tas plastik itu untuk membungkus sepatu. Sementara kaki biarlah nanti telanjang tanpa alas.

Sejurus kemudian Prof Rubi ke arah dapur dan meminta asisten rumah tangga mencarikan tas plastik. Saya menyusul mengemasi tas berisi laptop, membungkus dengan pelapis anti air, berjalan menuju belakang yang akan njujug ke pintu samping di mana sepeda motor berada.

Saya meraih jas hujan di sepeda motor. Selagi saya mengenakan celana jas hujan, Prof Rubi mengambilkan jaket hitam dan menyerahkan ke saya. Saya agak lupa dengan jaket itu. “Waduh, terima kasih, Prof,” kata saya.

Dan, selagi saya sibuk dengan jaket dan mengenakan baju jas hujan saya, Prof Rubi ternyata sudah mendapatkan tas plastik hitam, dan lantas memasukan sepasang sepatu kets saya ke dalam tas itu; sekali lagi, Prof Rubi memasukan sepasang sepatu saya ke tas plastik; lantas datang ke arah saya dan menyerahkan tas tersebut.... Ya ampun, saya pikir. 

“Wah, maaf, Prof. Terima kasih,” kata saya.
Apa lagi yang harus saya katakan?
“Aman, kan, laptopnya?”

“Aman, Prof. Terima kasih.”

Saya pamit menembus hujan yang belum juga mereda. Membelah genangan air mengalir deras di jalanan Grendeng sembari menyimpan rencana menuliskan catatan perjumpaan kembali dengan kesederhanaan dan kerendahan hati seorang guru besar yang mantan rektor Unsoed tersebut.

Sutriyono
Purwokerto, 11 Februari 2019

Posting Komentar

0 Komentar