Kisah Peneliti Balitnak: Dari Membikin Pusing Rektor, Gagal Bupati sampai Usaha Katering

Priyo Setiadi adalah mantan aktivis mahasiswa Unsoed. Ia kuliah di Fakultas Peternakan tahun 1971-1980. Karena segala sepak terjangnya sebagai aktivis, secara bercanda, kelulusannya membuat rektor lega.

Selepas upacara wisuda tahun 1980, Rektor Unsoed Brigjen. (Purn.) Drs. Ign. Soedaman Hadisoetjipto menghampiri Priyo dan berucap sambil tersenyum, "Priyo, saya senang Kamu sudah lulus. Saya jadi tidak pusing menghadapi Kamu terus."

Lahir di Jakarta Tgl 7 November 1951, Priyo menjalani pendidikan dasar Sekolah (SR) dan SMP sampai kelas 2 di Jakarta. Kelas 3 SMP ia pindah ke SMP N 1 Purwokerto kemudian dilanjutkan ke SMA N 1 Purwokerto.

Selepas lulus SMA tahun 1970 ikut seleksi di AKABRI (satu angkatan dengan Bpk Prabowo Subiyanto), namun nasib jadi tentara tidak berpihak padanya. Priyo lantas mendaftar di Universitas Jenderal Soedirman, Faklutas Peternakan.
Priyo menjalani kuliah dari tahun 1971-1980. Ia masih mengingat dengan baik nomor induk mahasiswanya (NIM), yaitu 127/Pt. Beristrikan Tjiek Sri Lestari, Priyo dikaruniai tiga putra. Mereka sukses berkarier dibidangnya masing masing yaitu Yeko Setiajid menduduki Tax Leader di Bank Mandiri Pusat, Dewo Priyambogo di Astra Honda dan Seno Setia Prabowo wirausaha dibidang IT.

Jeda beberapa saat, Priyo lantas bernostalgia suasana Purwokerto pada masa tahun 70-an. "Waktu dulu, Purwokerto masih merupakan kota kecil yang sepi, tenang dan sejuk karena percis berada dilereng Gunung Selamet. Di sekitaran Purwokerto masih banyak ditemui lahan kebun dan sawah oleh karena itu Purwokerto sering disebut Kota Pensiunan’,” kenang Priyo saat diwawancarai lewat telepon.

Priyo langsung bercerita tentang sistem kurikulum dan pendidikan di Unsoed saat itu. "Sistem kurikulum pendidikan jaman itu jauh berbeda dengan sekarang. Dulu kalau mau jadi Sarjana Penuh (Insinyur) harus melalui beberapa tahapan panjang dan berbelit Dimulai dengan tahun pertama masuk Tahap Percoban Matrikulasi/ Prospektus 1 (P 1), Prospektus 2 (P 2), Sarjana Muda 1 (SM 1), Sarjana Muda 2 (SM 2),  Sarjana 1 (S 1) dan Sarjana 2 (S 2) dilengkapi dengan Kerja Praktek Lapangan, Kerja Praktek Perusahaan, Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Penelitian untuk Tesis.  Sehingga masa kuliah bisa ditempuh lebih dari  10 tahun," katanya.

Sistem pendidikan yang kaku serta sikap dosen yang ortodok kedaerahan membuat masa kuliah terasa lama dan menjenuhkan.  Belum lagi apabila ada mata kuliah yang tidak lulus maka mahasiswa yang bersangkutan tidak naik tingkat dan tahun depan harus mengulang  mata pajaran yang tidak lulus tersebut sampai lulus. 
"Ini yang bikin frustasi mahasiswa jaman dulu. Masa kuliahnya banyak yang lama. Saya sendiri kuliah 10 tahun. Saya sempat gak naik tingkat gara-gara mata pelajaran Statistik dan Biologi tidak lulus," tambahnya sambil ketawa lepas, mengenang masa lalu.

"Coba bayangin Mas Roni, Kerja Praktek Perusahaan tiga bulan, Kerja Praktek Lapangan tiga bulan, KKN enam bulan (tapi dibayarin Negara), Penelitian satu tahun plus lagi jaman dulu dosennya killer-killer," kata Priyo.

Pada saat itu belum ada kalkulator untuk program statistik, tidak seperti sekarang ini. Sehingga ujian Statistik hanya menggunakan Daftar Logaritma.  Ujian dampai lima jam sehingga ada mahasiswa yang pingsan. Ketika itu juga belum ada fasilitas mesin photo copy apalagi komputer sehingga pengetikan tugas kuliah maupun tesis pakai mesin ketik manual. “Jadi, betapa prihatinnya mahasiswa saat itu," ujar Priyo.

Tahun 1976, Unsoed dipercaya untuk melaksanakan Pekan  Pesta Seni dan Olah Raga SEMA/DEMA se-Jawa Tengah. Priyo ditunjuk sebagai Ketua  Organizing Commete (OC).
"Karena Allah SWT, hajat mahasiswa Jateng tersebut terlaksana dengan baik dan sukses,"  kenangnya.

Sebagai aktifis, Priyo dikenal disegani baik di kalangan mahasiswa maupun di kalangan para dosen dan Rektorat.  Kelembagaan organisasi kemahasiswaan  jaman itu adalah Senat Mahasiswa (SEMA) yakni lembaga eksekutif tingkat fakultas, Dewan Mahasiswa (DEMA)) lembaga eksekutif tingkat universitas dan Majelis Permusyawaratan  Mahasiswa (MPM) lembaga legislatif di tingkat universitas.

Priyo sempat menduduki posisi tertinggi menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa Unosed (MPM-KM Unsoed) Periode 1976 - 1980. Melalui sidang Majelis MPM tersebut Priyo melakukan koreksi terhadap AD/ART KM Unsoed,  evaluasi kurikulum, melahirkan dewan dan senat mahasiswa, pelatihan Leadership Training Course dan berbagai program kerja mahasiswa lainnya.

Tahun 1978 mahasiswa seluruh Indonesia melakukan protes dan koreksi kepada Pemerintah RI yang dimotori oleh Dema UI, ITB dan Gama yang dikenal dengan “Buku Putih”. Mahasiswa Unsoed juga turut berpartisipasi ke Jakarta, Bandung, Jogya dan Purwokerto. Saat itu, bagi Dema di Indonesia yang tidak turut aktif dalam gerakan mahasiswa ini akan dikirimi paket berupa seperangkat "BH & CD Wanita". Dari aksi mahasiswa tersebut,  tahun 1979 diterbitkanlah Kebijakan Pemerintah Pusat berupa Program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dimana Organisasi Kemahasiswaan Sema, Dema dan MPM dibubarkan dan terjadi koreksi total kehidupan kampus termasuk sistem kurikulumnya.

"Waktu mahasiswa, saya termasuk paling bandel dan berani, apalagi waktu saya jadi Ketua MPM banyak teman teman mahasiswa yang seharusnya di DO, jadi batal karena saya protes keras ke Rektor dan Dekan,” Priyo menceritakannya dengan penuh semangat.

"Maklumlah, jaman itu masih “ortodok", aturannya ketat kaya militer, rambut gondrong pun tidak boleh," tambahnya. 
Banyak sekali peraturan dari rektorat yang diubah karena "keberanian" Priyo protes ke Rektor. Dan ada satu kenangan indah, yaitu tatkala ikut terlibat meng-"goal"-kan Pelabuhan Cilacap, menjadi Pelabuhan Terbuka, serta menjadi salah satu pendiri terbentuknya Radio Almamater (RAM) UNSOED sekaligus jadi penyiar. Saat itu Radio Amamater ini menjadi salah satu media yang favorit dan efektif utk menyebarkan informasi dan komunikasi antar mahasiswa dan dengan masyarakat luas.

Priyo Setiadi yang punya hobby  berorganisasi, olah raga dan kesenian, meneruskan ceritanya.
"Saya ini walau bandel tetapi tetap menjadi mahasiswa dengan nilai akademis yang baik, terbukti dengan terpilih mendapatkan Beasiswa Bakat dan Prestasi yang nominalnya diatas Bea Siswa Supersemar. Penerima beasiswa ini setiap universitas cuma dijatah dua mahasiswa, lumayan ketika itu per bulan dapat dana beasiswam," ujarnya.

Lepas Lulus kuliah Priyo bergabung di proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak (P3T), Proyek dari PBB yang diberi nama "Colombo Plan".

Tahun 1982 proyek tersebut dibubarkan, dan langsung diambil alih oleh Departemen Pertanian RI. Proyek P3T diganti menjadi sebuah balai di bawah Badan Litbang Pertanian, yaitu menjadi Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi Bogor. Priyo menjadi orang pertama dari Fapet Unsoed  yang menjadi staf Peneliti di Balitnak Bogor.

Tahun 1983, melanjutkan Study Pascasarjana S2 di IPB Bogor.

"Jadi Peneliti saat itu banyak kendala khususnya terbatasnya dana. Aggaran untuk penelitian kecil dan tidak memadai karena fungsionaris penelitian dinilai tidak penting dan tidak produktif oleh Negara. Lebih penting keamanan dan Dwi Fungsi ABRI. Jadi jauh lebih susah dibanding jaman sekarang," ungkapnya.  Beliau pensiun dari Balitnak Ciawi Bogor tahun 2009 .
"Banyak karya hasil penelitian saya, cuman sayang, Biodata tentang saya belum ketemu, karena saya baru pindahan dari Bogor ke Karawang," sambung Priyo.
Selain penelitian dan membimbing penelitian mahasiswa serta applikasi teknologi peternakan di masyarakat ada beberapa penelitian yang beliau banggakan antara lain Proyek World Bank dalam proyek  pelestarian plasma nutfah ayam asli Indonesia (ayam Kedu) yang hampir punah karena seleksi massal untuk mendapatkan ayam yang hitam (cemani) dikembangkan ke wilayah Tapin di Kalimantan Selatan yang dikenal sebagai Ayam Dupin (Ayam Kedu dari Tapin).

Tahun 1985 Priyo diberi kepercayaan menjadi Ketua Korpri Balitnak  Bogor dan menjadi fungsionaris Golkar.

"Di tahun 1985, saya selaku Ketua RW diberikan tugas oleh Rektor IPB Prof. Andi Hakim Nasution untuk mengkondisikan masyarakat  Desa Dramaga dalam persiapan pemindahan kampus IPB ke Dramaga Kampus dengan Program IPB masuk Desa, dan sukses," cerita Priyo.

"Karena saya aktif di Golkar, serta dapat dukungan dari Ketum Golkar  Aktifis 66 yaitu Bapak  Akbar Tanjung, pada tahun 1998 saya dicalonkan menjadi Bupati Kabupaten Bogor dari Partai Golkar, cuman saya kalah karena lawannya dari ABRI. Saat itu ABRI sangat kuat dengan Dwi Fungsi-nya," papar Priyo.

Selama jadi Peneliti di Balitnak Ciawi Bogor, banyak Proyek kerjasama yang dikerjakannya antara lain kerjasama dengan  Bimantara Group, Matahari Group, Tomy Suharto, dll.

Karena hobby berorganisasi maka ada beberapa aktifitas organisasi sosial kemasyarakatan yang pernah dijalaninya antara lain :
1. Ketua Korpri Balitnak  Bogor
2. Ketua ICMI Ciawi Bogor
3. Ketua PNPM (Proyek Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Ciawi Bogor.
4. Sekretaris LBH Arief Rachman Hakim, Angkatan 66
5. Ketua Bidang Pertanian HKTI Kab Bogor
6. Anggota Dewan Pakar ICMI Nasional
7. Ketua Bidang Agraria LSM Laskar Merah Putih
8. Berbagai kegiatan Agama Islam.

Sekarang ini, Priyo Setiadi bersama istri menikmati masa pensiunnya sambil wirausaha katering di wilayah Karawang.  "Hidup ini harus diisi dengan kegiatan yang produktif. Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain dan harus mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta, beramal baik, dan isiqomah beribadah menggapai Ridlo Allah SWT ….amin yyra,demikian ungkapan Priyo Setiadi mengakhiri wawancara. Semoga dapat menjadikan semangat dan suri tauladan bagi Civitas Academika UNSOED. Terima kasih.

Penulis dan foto : Roni Fadilah 

Posting Komentar

0 Komentar