Keberagaman Indonesia seharusnya menjadi kekayaan bangsa |
Keberagaman
merupakan suatu hal yang indah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia
kaya akan keberagaman seperti agama, ras, golongan, suku bangsa dan budaya. Keanekaragaman
tersebut harusnya dijadikan sebagai kekayaan dari sebuah negara di mana kita
dapat saling menghargai, menghormati dan saling menguatkan nilai-nilai yang ada
di dalamnya. Perbedaan tidak dijadikan sebagai pertentangan, tapi perbedaan
seharusnya dijadikan sebagai pendorong, penguat, pemurni apa yang dimiliki
serta saling menghargai, menghormati dan saling memahami antara satu sama lain.
Namun
pada kenyataan yang sering terjadi, perbedaan-perbedaan tersebut malah
dijadikan sebagai sumber perselisihan dan pertentangan. Hal tersebut seringkali
memunculkan kerusuhan dan konflik di mana-mana yang berpotensi membuat Indonesia
terpecah-belah.
Sebagai
contoh, kasus aksi rasisme oknum ormas terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
Mereka diteriaki dengan kalimat paling purba di zaman perkembangan teknologi
dan informasi yang begitu pesat.
Komunikasi
yang memuat hal yang sensitif yang berbau perbedaan seperti agama, suku, ras
dan antar golongan, dengan adanya teknologi, bisa dengan mudah tersebar ke
lain-lain daerah. Pada sisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara dengan
suku bangsa terbesar di dunia. Bila ditelusuri ke belakang, kejadian-kejadian
seperti contoh di atas punya sejarah panjang dan berpotensi menjadi faktor
perpecahan.
Keberadaan
teknologi tak selamanya membuat manusia sebagai pengguna juga ikut berkembang.
Ia bagaikan dua sisi mata pisau yang dapat mempersatukan atau malah
menceraikan. Pelakunya hanya sebagian orang yang kerap kita sebut oknum yang
antara sadar atau tidak sadar, tindakannya nyaris merusak persatuan mayoritas
suku yang proses terbangunnya sudah dari zaman nenek moyang dulu.
Sedih
rasanya jika kita melirik lagi perjuangan para pendahulu kita dalam menyatukan
sebuah negara yang warganya punya latar belakang perbedaan sulit bersatu.
Kenanglah begitu banyak pengorbanan nyawa, darah, dan air mata yang harus
dibayar untuk sebuah persatuan yang mereka cita-citakan untuk Indonesia.
Sekarang banyak sekali tumbuh subur perpecahan dan konflik horizontal karena
menyentuh hal paling private identitas
daerah tertentu. Konflik di Indonesia selain politik, kebanyakan dari konflik
mengenai Sara. Sentimen konflik agama dan suku di Indonesia paling cepat
berkobar dan merembes ke mana-mana. Bahkan korbannya kebanyakan adalah orang
yang tak tahu menahu permasalahan. Konflik ini mengakibatkan kerusakan paling
parah dan menambah disintegrasi antar suku dan agama.
Seringkali
orang melihat suku lain sebagai sangat inferior
dan terbelakang. Apabila cara pandang seperti ini dirawat secara terus menerus
tanpa menyadari bahwa kita adalah sama, tunggulah perpecahan akan datang. Bisa
kita lihat warga Papua yang tersulut emosi dan marah, membakar gedung DPRD
Provinsi, pasar diobrak-abrik, jalan raya diblokade hingga aktivitas kendaraan
lumpuh total. Itulah buah dari tindakan rasisme. Tak ada yang bisa membenarkan
tindakan rasisme terhadap suku-suku di Indonesia, atau paling banter suku
pedalamaan yang ada di pelosok yang masih tinggal di atas gunung dan rawa-rawa.
Mereka tetap harus dihargai identitasnya, sama seperti kita menghargai budaya
sendiri. Jadi berhentilah mengejek suku lain bila masih ingin hidup rukun di
bawah naungan Bhineka Tunggal Ika.
Pada
kasus mahasiswa Papua, kita perlu memahami satu hal ini. Baik daerah Papua,
Malang dan daerah lainnya merupakan satu kesatuan wilayah Indonesia. Siapa saja
punya hak datang belajar, mencari pekerjaan atau tinggal di situ selama yang
dia inginkan. Tidak boleh ada orang yang merasa terusik apabila pendatang
menyerbu kotanya sebagai pelajar dan pekerja. Toh juga sebagian besar
masyarakat Jawa mencari penghidupan di wilayah Papua yang kaya akan kandungan
alamnya atau pulau-pulau lain.
Saya merasa khawatir, isu rasisme ini bisa
menjadi pintu masuk warga Papua menyuarakan kembali untuk berpisah dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena selama ini, isu pemisahan
diri sudah berlangsung sejak lama diperjuangkan oleh kelompok separatis
Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Bumi Cenderawasih.
Ahmad Rahmatillah - Universitas Lambung Mangkurat |
Bila
mengingat masih terus muncul konflik antar suku, agama, ras dan antar golongan,
kita bisa melihat beberapa permasalahan mendasarnya. Tingkat toleransi dan
sikap saling mengargai antar sesama masih rendah. Seharusnya kita sebagai warga
negara Indonesia wajib menanamkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti,
“berbeda-beda tapi satu”. Walapun kita beda agama, ras, gender, suku, dan
wilayah.
Perbedaan
semestinya sebagai ciri khas dan kekayaan Indonesia yang harus kita rawat serta jaga sebagai warga negara. Presiden RI,
Bapak Joko Widodo pernah berkata, "Perbedaan latar belakang suku, agama budaya,
bukanlah penghalang bagi bangsa Indonesia untuk bersatu. Keragaman yang
dimiliki harus diikat dengan tali persaudaraan agar tercipta kehidupan bangsa
yang damai dan harmonis,"
Dengan
pernyataan tersebut selayaknya kita mengedepankan arti toleransi bukan
mengedepankan kekerasan yang bisa menyebabkan tumbuhnya api-api kebencian di
dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah selayaknya kita
kembali berkaca kepada sejarah di mana dulu saat masa Nabi Muhammad SAW
mengajarkan toleransi antar umat beragama yang menyentuh ranah sosial.
Toleransi
sering dicontohkan Nabi Muhammad SAW di antaranya adalah pada saat rombongan jenazah
Yahudi melewati depan Nabi Muhammad. Ketika itu beliau berdiri. Selepas itu
para sahabat bertanya tentang maksud yang dilakukan beliau. Pada saat itu beliau
mengajarkan arti toleransi dalam umat beragama. Dengan artian tersebut kita
bisa membangun konsep hubungan antar manusia untuk saling menghargai, menghormati
dan saling memahami antara satu sama lain.
Bila
saja di dunia ini tidak ada lagi kata “kami” dan “mereka”, yang ada hanya kata
manusia, maka akan menarik. Dengan kata itu maka hilanglah pembeda di antara
sekat yang ada di antaranya dari segi agama, budaya, sosial dan sebagainya.
Sudah saatnya kita mulai introspeksi diri, apakah kita mau hidup berdampingan
dengan selain agama yang kita percayai atau tidak?
Jawaban
atas pertanyaan tersebut ada pada diri kita masing-masing. Sebenarnya kita tahu
persis yang diajarkan dan maunya agama kita masing- masing. Merujuk pada UUD
1945 Pasal 29 ayat 2, di sana disebutkan bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaanya itu.”
Dengan
paparan tersebut kekerasan dan kebencian dalam beragama harus diakhiri dan
tidak ada lagi yang merasa takut dan tertekan karena beragama dan beriman
kepada Tuhan. Jika hal tersebut masih terjadi di negeri ini, berarti amanat UUD
1945, seperti dalam pasal di atas secara tidak langsung telah dikhianati oleh
anak-anak bangsa.
Gambaran
sekilas yang saya lihat mengenai toleransi di negeri ini memang jauh dari yang
kita harapkan. Persoalan-persoalan yang sebenarnya hanya biasa saja, bisa
gempar ketika diperpadukan dengan keyakinan. Selayaknya kita harus mengubah arah
pikir kita. Di negeri ini kaya dengan berbagai budaya, etnis, agama dan
lain-lain. Maka tentunya sikap toleransi ini wajib ditanamakan baik-baik di
dalam diri kita dan perlu kita ketahui juga bahwa toleransi antar umat beragama
itu sangat penting karena setiap manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup
dan setiap manusia pasti memerlukan manusia lain untuk segala hal yang tidak
dapat dia lakukan sendirian.
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk yang sempurna namun dengan kesempurnaan itu kita
juga butuh orang lain. Perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia harus mendorong
kita untuk lebih saling mengisi, untuk melakukan hal-hal yang baik, bukannya
saling iri yang mengakibatkan perselihan dan perpecahan dimana-mana. Apalagi
dalam aspek agama semua orang berhak untuk memilih agamanya sendiri maka dari
itu kita harus saling menghargai antar sesama demi terciptanya kedamaian. Toleransi
antar umat beragama bukan berarti kita harus menjatuhkan agama yang lain.
Diperlukan
keseriusan dalam mewujudkan spirit
kesatuan dalam kebhinekaan atau kesepakatan dalam perbedaan dengan didukung
penuh terutama oleh para tokoh agama, cendekiawan, dan Negara. Perdamaian tidak
mungkin bisa dicapai tanpa adanya sikap toleransi dari semua pihak.
Mari
kita mulai dari diri kita sendiri, dan didik generasi cinta damai untuk
memimpin di masa depan nanti. Dari benih-benih yang kita tanamkan, suatu saat
akan menumbuhkan para pemuda teladan calon pemimpin yang toleran pembawa
perdamaian. Oleh karena itu, budaya saling mengerti dan menghormati dalam
toleransi yang mulai redup harus kita hidupkan kembali. Jangan ada diskriminasi
antar agama dan etnis yang akan berujung konflik dan tragedi yang terulang
kembali di negeri pertiwi.
*Penulis adalah Ahmad
Rahmatillah (Universitas Lambung Mangkurat), yang merupakan peringkat 1
Lomba Menulis Artikel Ilmiah Populer dalam Rangka Training Jurnalistik Tingkat Nasional Bersertifikat yang digelar
oleh Kafapet Unsoed pada Sabtu (29/8).
1 Komentar
bagus
BalasHapusJika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer