Purwokerto, Kafapet-unsoed.com. Hari raya Idul Adha dirayakan setiap tahun pada tanggal 10 Dzulhijah. Mendengarkan Khutbah Idul Adha termasuk salah satu sunnah yang dianjurkan setelah Shalat Idul Adha dilaksanakan. Alumni Fakultas Hukum Unsoed H.Hasyim Asy'ari,SH.,MSi.,PhD. yang juga Ketua KPU pada hari Senin 17 Juni 2024 di Lapangan Simpang Lima, Semarang sebagai Khatib Shalat Idul Adha dengan tema Khutbah :
Qurban Sebagai Ujian Keimanan, ujar Ir.H.Alief Einstein,M.Hum. dari kafapet-unsoed.com selesai H.Hasyim Asy'ari,SH.,MSi.,PhD. mengirim materi lengkap Khutbah Idul Adha.
Berikut di bawah ini sebagian dari materi Khutbah Shalat Idul Adha yang disampaikan oleh khatib H.Hasyim Asy'ari,SH.,MSi.,PhD. :
Setiap tahun, dalam suasana menyambut hari raya Idul Adha, pada tanggal 10 Dzulhijjah, kita mengumandangkan kalimat-kalimat tauhid, takbir, tahmid, dan tahlil.
Kalimat-kalimat agung itu pada saat kini tengah menggema di mana-mana, dikumandangkan oleh umat Islam di seluruh dunia, baik yang ada di belahan barat, di belahan timur, di belahan utara, dan belahan selatan. Pada waktu yang bersamaan, di tanah suci Makkah, umat Islam, tamu Allah, yang sedang menunaikan ibadah haji menyerukan pula kalimat talbiyah.
Kalimat takbir, tahmid, dan talbiyah itu ditanamkan ke dalam hati, ditancapkan ke lubuk jiwa yang dalam, sehingga pengaruhnya terpancar dalam wujud nyata yang direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan amal ibadah.
Hari raya Idul Adha yang juga disebut hari raya Qurban mengingatkan kita kepada Nabiyullah Ibrahim AS bersama putranya, Nabi Ismail. Nabi Ismail adalah putra tunggal Nabi Ibrahim yang telah bertahun-tahun dirindukan kehadirannya. Sebagai putra tunggal, Ismail sangat disayangi oleh kedua orang tuanya.
Keduanya dengan jelas telah sama-sama menunjukkan sikap ingin berkorban yang luar biasa besarnya. Kesediaan Nabi Ibrahim untuk melaksanakan perintah itu, dan kerelaan Ismail untuk menerima perintah itu, merupakan perwujudan dari kepatuhan mereka yang tiada taranya terhadap perintah Allah.
Pengorbanan yang dilakukan oleh kedua hamba Allah terebut merupakan ujian dan pengorbanan yang amat besar, yang tiada bandingan dalam sejarah umat manusia sampai hari ini. Pengorbanan dan ujian yang beliau berdua lakukan itu kini tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa yang diabadikan sepanjang masa, yang kita namakan Idul Qurban. Pengorbanan dan ujian seperti itu kiranya dapat kita tanamkan dalam hati sebagai pelajaran yang berharga. Sebaliknya, alangkah kecilnya ujian dan pengorbanan kita yang hanya mengorbankan sebagian dari apa yang kita miliki demi memenuhi perintah Allah dalam hari raya Qurban ini.
Pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail patut kita teladani dan ikuti, dalam pengertian bahwa kita dengan kemampuan yang ada, bersedia mematuhi dan menaati perintah Allah dengan mengorbankan sebagian dari harta yang kita miliki dan mengorbankan apa yang kita lakukan yang dipandang tidak sesuai dengan perintah dan tuntunan Allah. Pada hari raya Idul Adha diperintahkan kepada mereka yang mampu untuk menunjukkan kesediaan berkurban dengan penyembelihan seekor hewan ternak.
Penyembelihan terhadap hewan qurban itu mengalirkan darah dan menghasilkan daging yang akan dibagi-bagikan kepada yang berhak. Patut kiranya dicatat bahwa yang dinilai oleh Allah dalam penyembelihan itu bukan darah yang terpancar dan bukan pula daging yang bergelimpangan itu, melainkan kesucian jiwa dan keikhlasan hati serta kesediaan melakukan kurban.
Kesucian jiwa dan keikhlasan hati dalam melaksanakan kurban merupakan satu unsur yang sangat urgen yang harus mendapat perhatian kita. Hal ini merupakan landasan yang menjadi dasar dalam melaksanakan segala perbuatan dan ibadah kita.
Pengorbanan yang ditampilkan tidak dilihat dari segi materi, kuantitas, dan bentuk lahiriahnya, tetapi yang dilihat adalah keikhlasan dan niat yang memberi kurban.
Agama kita menetapkan untuk menyembelih kurban binatang, berupa hewan ternak: domba, kambing, kerbau, sapi atau unta. Yang dikurbankan adalah binatang. Ini mengandung setidaknya dua makna, yaitu (1) sifat-sifat kebinatangan yang terdapat dalam jiwa seseorang harus dikurbankan dan disembelih, dan (2) jiwa dan perbuatan seseorang harus dilandasi dengan tauhid, iman, dan takwa. Sangat banyak sifat kebinatangan yang terdapat dalam diri manusia, seperti sifat mementingkan diri sendiri, sifat sombong, sifat yang menganggap bahwa hanya golongannyalah yang selalu benar, serta sifat yang memperlakukan sesamanya atau selain golongannya sebagai mangsa, atau musuh. Sifat kebinatangan yang selalu curiga, menyebarkan isu yang tidak benar, fitnah, rakus, tamak, dan ambisi yang tidak terkendalikan, tidak mau melihat kenyataan hidup, tidak mempan diberi nasihat, tidak mampu mendengar teguran, dan lain-lain merupakan sifat-sifat yang tercela dalam pandangan Islam. Sifat-sifat yang demikian, jika tetap dipelihara dan bercokol di dalam diri seseorang, akan membawa kepada ketidakstabilan dalam hidup, ketidak-harmonisan dengan lingkungan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sifat-sifat yang demikian ini akan memudahkan jalan bagi terciptanya perpecahan dan ketidaktenteraman dalam kehidupan.
Ajaran Islam dengan ajaran kurbannya menghendaki agar seorang Muslim mau mengorbankan sifat-sifat seperti itu dengan tujuan agar kestabilan dan ketenteraman hidup dalam masyarakat dapat diwujudkan dan kedamaian antara sesama manusia dapat direalisir. Ajaran Islam menghendaki agar kurban yang disampaikan harus binatang yang sempurna sifat-sifatnya, jantan, tidak buta, tidak lumpuh, tidak kurus, dan tidak cacat. Ini mengandung makna bahwa di dalam melakukan kurban, beramal, dan berkarya setiap Muslim dituntut untuk berusaha dalam batas-batas kemampuan maksimal, dengan mengerahkan tenaga secara optimal, tidak bermalas-malasan, tidak melakukan sesuatu dengan sembrono.
Selain sebagai ibadah yang memiliki dimensi vertikal yakni mendekatkan diri kepada Allah, kurban juga memiliki dimensi horisontal atau sosial yakni berbagi rezeki dengan orang lain. Jika dalam Hari Raya Idul Fitri, kita membahagiakan orang lain dengan zakat, maka saatnya di Idul Adha ini kita gembirakan hati orang lain dengan ibadah kurban.
Agama Islam memerintahkan untuk berkurban dan beramal semaksimal kemampuan, karena agama Islam sendiri adalah dinul-udhiyah (agama pengorbanan) dan dinul-‘amal (agama yang mengutamakan karya nyata dan usaha). Iman kepada Allah yang kita yakini harus disertai dengan amal perbuatan nyata dalam kehidupan kita.
Dalam pandangan agama, iman saja, tanpa amal, tidaklah cukup dan beramal tanpa dilandasi dengan iman tidaklah bernilai. Itulah sebabnya, maka dalam Islam, iman dan amal merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pengorbanan sebagai perlambang bahwa jiwa dan perbuatan seseorang harus dilandasi dengan tauhid, iman, dan takwa, dapat memberikan arti bahwa kita dituntut untuk meyakini keesaan Allah, dan apa yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk Allah. Ajaran kurban ini juga mengisyaratkan makna yang mendalam agar kita dapat mengorbankan segala sikap dan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan ajaran Allah. Kita dituntut untuk mengorbankan, menyembelih, mengikis habis kebiasaan-kebiasaan yang dipandang merusak akidah itu, kemudian kita gantikan dengan sikap-sikap dan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akidah Islam dan ketauhidan yang diajarkannya.
Semoga kita memiliki kepekaan sosial untuk saling berbagi dan mampu memberikan manfaat banyak bagi orang di sekitar kita, karena sebaik-baik manusia adalah mereka yang bisa memberi manfaat bagi orang lain.
Penulis : Ir. Alief Einstein, M.Hum
Foto : Ir. Alief Einstein, M.Hum
1 Komentar
Alhamdulillah. Ikut menyimak.
BalasHapusJika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer