Donaldson and Walsh sepakat bahwa jawaban seperti itu merupakan kebodohan. Mereka merasa bahwa seharusnya bisnis memiliki tujuan yang lebih luhur, dibanding sekedar mencari keuntungan. Bagaimana pun di dunia ini, tidak ada tujuan yang lebih kecil daripada cara mencapainya, itu tesis mereka.
Layaknya peneliti Amerika, mereka pun memberikan dua analogi. Pertama, hukum bertujuan untuk mencapai keadilan, seperti halnya, - kedua, aktivitas medis bertujuan untuk mencapai kesehatan. Menempatkan pencarian keuntungan sebagai tujuan bisnis, justru merendahkan tugas mulia dari kegiatan bisnis itu sendiri, karena keuntungan (sebagai tujuan) menjadi lebih rendah dari kegiatan bisnis (cara mencapainya).
Orang tentu banyak berkilah, bagaimana mungkin ada bisnis tanpa profit? Tentu saja, profit dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan bisnis, tapi itu bukan tujuan utama, apalagi dijadikan satu-satunya tujuan. Sekali lagi, jika bisnis hanya ditujukan hanya untuk mencari keuntungan, tunggulah saat kebangkrutannya ...
Dalam artikelnya, Donaldson and Walsh menjawab bahwa tujuan bisnis adalah kemakmuran. Tentu saja, bukan kemakmuran bagi para shareholder (pemegang saham) saja, tetapi juga bagi semua stakeholders (para pemangku kepentingan) yang terlibat di sepanjang supply chain (rantai pasok), dari produsen hingga ke konsumen akhir.
Dalam kaitan dengan kemakmuran itu lah, beragam aspek keberlanjutan menjadi relevan. Bagaimana pun, tidak ada bisnis yang hanya dibangun dan dikembangkan, hanya untuk waktu yang singkat. Lalu bagaimana formulasinya? Dua profesor ini menyarankan agar para pengelola bisnis menjadikan bisnisnya sebagai kekuatan kebaikan.
Tetiba, saya teringat pada Kanjeng Nabi ...***
Penulis adalah alumni Fapet Unsoed angkatan 1987, motivator nasional dengan nama populer "Bang Jay" , penggerak Social Entrepreneur
Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Sosial Bisnis di majalah Suara Cinta Dompet Dhuafa
0 Komentar
Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer