BARITAN Ketika Petani Memuliakan Ternak


Matahari telah mulai condong ke barat. Dukuh Karang, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo mulai ramai. Para petani bergerak ke areal persawahan Bulak Turi. Dengan tali kekang masing-masing, mereka membawa serta sapi, domba, kambing etawa lengkap dengan suara embikan dan lenguhan hewan ternak tersebut. Beberapa bunyi seperti letupan-letupan suara yang terlontar dari mulut petani seperti berusaha membuat langkah ternak mereka tunduk pada kehendak petani.

(kebumen2013.com)

Dibiarkanlah oleh para petani hewan ternak yang sesekali melepas kotoran di perjalanan. Petani harus berhenti sejenak, untuk kemudian melangkahkan kaki lagi.

Ada kegembiraan di wajah-wajah para petani. Anak-anak dengan pandangan dan decak-decak kagum, mengiring langkah-langkah seekor kambing etawa yang tinggi badannya lebih tinggi dari mereka. Hari itu di dusun perbukitan Menoreh tersebut hendak digelar upacara baritan. Inilah tradisi para petani memuliakan hewan ternak mereka.

Baritan konon berasal dari singkatan bar ngarit selametan, atau habis mencari rumput dengan sabit lantas selamatan. Akan tetapi seperti layaknya keramaian di desa, ikut pula bergabung di tengah-tengahnya para pedagang makanan, mainan anak, dan ibu-ibu yang membiarkan anak balitanya dengan merdeka menyusu dalam gendongan.

(flicker.com)

Di Dukuh Karang, baritan digelar selepas panen pada musim kemarau. Waktu yang dipilih jatuh pada Selasa Kliwon atau Jumat Wage dalam pasaran Jawa.


Rombongan yang semula berkumpul di rumah kepala dusun itu lantas bergerak dalam iringan. Para pria membawa sesaji berupa hasil bumi dilengkapi air kembang setaman. Ada pula tumpeng yang lengkap dengan segala uba rampainya. Di belakang mereka penabuh gamelan dan pemain jatilan. Para petani dengan ternak-ternaknya berada di belakang mereka itu. Dan terakhir adalah masyarakat penggembira.

(kebumen2013.com)

Berbagai ternak tersebut akan diikat tidak jauh dari pusat kegiatan. Sapi-sapi diikatkan pada pohon-pohon besar, sementara tali kekang domba dan kambing sebagian ada yang cukup diikatkan pada kayu atau bambu yang dipasakkan ke tanah. Akan tersedia cukup makanan bagi ternak-ternak ini sehingga saat para tuan mereka mengikuti ritual, mereka bisa menikmati hijauan sembari sesekali melihat ke arah kerumunan orang dan melenguh panjang.


Upacara dimulai dengan basa-basi selamat datang dan uraian maksud tujuan kegiatan. Doa-doa menyusul digelar. Selepas itu air kembang dan air dlingo bengle disiramkan ke areal persawahan sebagai simbol mengusir hama dan segala penyakit tanaman.

Air yang tersucikan oleh doa-doa segenap petani itu lantas disiramkan ke domba, kambing etawa dan sapi-sapi petani. Para petani akan membagi dan membawa pulang air yang tersisa untuk menyiram kandang ternak mereka di rumah.

Dan bagi anak-anak, acara sesudahnya adalah acara yang mereka nantikan; makan bersama. Aneka makanan khas seperti ketela rebus, umbi rebus, jagung rebus, kimpul, kupat tahu dan tempe bacem, serta minuman dawet  gula Jawa telah terhidang. Makan bersama seluruh warga menjadi acara yang penuh kenangan dan dirindukan setiap tahunnya.

Baritan adalah ungkapan syukur petani atas bumi, tanah, air dan segala tanaman, serta hewan ternak mereka. Bahwa alam semesta masih mendukung kehidupan para petani di Dukuh Karang tersebut.

Tradisi baritan banyak dijumpai di beberapa tempat. Beberapa daerah lain melaporkan tradisi tersebut sudah menjadi masa lalu yang hanya diingat orang-orang tua.

Sebuah akun Instagram @heru_sutrisno1 membagikan foto dan sedikit narasi mengenai baritan di Desa Sumberarum Moyudan Sleman. Karena desa tersebut dekat dengan Kali Progo, sapi dan kambing yang diikutkan dalam upacara baritan dimandikan di Kali Progo. Akun tersebut memberi catatan tanggal kegiatan,  24 April 2016.

Ananda. R dalam kebumen2013.com (19/5/2013) mengutip artikel di majalah “INDIE” yang terbit 24 April 1918. Ananda menulis mengenai tradisi baritan di Mirit, Kebumen. Artikel tersebut mengklaim bahwa tradisi baritan tidak ditemukan di tempat lain di Jawa.

(kebumen2013.com)

Baritan di Mirit merupakan tradisi tahunan yang menjadi semacam festival ternak terutama sapi. Pada mulanya festival tersebut diadakan pada saat panen/pendistribusian sapi hasil pembesaran yakni antara bulan Juli – September.


Baritan di Mirit tempoe doeloe dilangsungkan selama tiga hari. Hari pertama dilaksanakan selamatan yang diikuti oleh perangkat desa dan para penggembala dan teman-teman mereka dari berbagai desa. Hari kedua masih dilaksanakan selamatan. Kali ini selamatan berujubkan doa permohonan untuk perlindungan dan kesejahteraan ternak. Seluruh warga hadir dalam selamatan hari kedua ini.

Hari ketiga berlangsung pesta rakyat. Pusat kegiatan dihias dengan umbul-umbul. Gamelan ditabuh dan tarian dimainkan. Itulah festival ternak baritan.

Pada tahun 1914 baritan dikembangkan dengan menyertakan festival dan kompetisi ternak unggulan. Sebagian petani mendandani sapi yang mereka lombakan dengan aneka hiasan. Bagi pemenang akan mendapatkan hadiah.

Catatan dalam laporan tersebut, festival ternak baritan terbesar pernah berlangsung dengan melibatkan 10.000 orang. Mereka terdiri dari pribumi, kaum ningrat dan priyayi serta penduduk Eropa di Kebumen.

Sutriyono
Sumber bacaan:
kebumen2013.com (20/5/2015), dpad.jogjaprov.go.id (23/9/2013), antaranews.com (20/9/2015)

Posting Komentar

0 Komentar