Ir. H. Muhammad Nuskhi, M.Si |
Tubuhnya ramping, dari dulu hingga kini. Ke mana-mana selalu naik sepeda. Saat itu, 1986, ia sudah menjadi dosen di Fakultas Peternakan, sedangkan saya mahasiswa baru di Sosiologi. Kami sama-sama dari Unsoed, Purwokerto. Teman-teman sering bercerita bahwa ia kemenakan Djarnawi Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah yang juga tokoh Parmusi. Tentu saja saya makin kagum. Sahaja, pinter, dan punya paman tokoh besar. Sebagai mahasiswa sospol tentu saya paham siapa Djarnawi, Namanya sering menghiasi media massa pada paruh kedua dekade 1980an. Suaranya keras dan lempeng, karena itu Orde Baru tak menyukainya. Nah, si kemenakan memiliki karakter yang sama. Belakangan, di media massa, ia lebih sering disebut sebagai cucu Ki Bagus Hadikusumo, mantan ketua umum Muhammadiyah dan juga anggota BPUPK. Tentu ketokohan Ki Bagus jauh lebih tinggi lagi.
Muhammad Nuskhi Zetka, itulah namanya. Saya lebih suka
memanggilnya Mas Nuskhi. Ia lahir 24 September 1962. Nama Zetka diambil dari
inisial ayahnya, Zoehalkusumo. Usia Mas Nuskhi beda lima tahun dengan saya.
Mungkin dilihat saat ini wajar saja ia sudah menjadi dosen di usia semuda itu.
Namun sesungguhnya saat itu bukan hal lazim. Ia termasuk lulus cepat. Ia
menyelesaikan kuliah dalam waktu empat tahun. Pada masa itu termasuk sulit untuk
lulus cepat. Namun ia memang orang yang disiplin, tertib, dan giat. Ini yang
paling saya suka: Saat berbicara tata bahasanya teratur, runtut, dan mudah
dicerna. Kalimatnya pendek-pendek dan tegas. Suaranya bariton.
Saya sering bertemu Mas Nuskhi di Wisma Asri di Kauman Lama.
Di situlah letak sekretariat HMI. Sebagai anggota baru, saya tentu berada dalam
bimbingannya. Namun saya kurang cocok dengan caranya dalam memahami Islam. Ia
cenderung tekstual. Padahal ceramahnya sangat enak didengar dan isinya bagus.
Ia selalu menjelaskan ayat dengan ayat yang lain dengan runtut. Juga penuh
ilustrasi. Sebagai mahasiswa ilmu sosial, cara memahami agama yang seperti ini
tak menarik. Apalagi bagi mahasiswa sosiologi yang cenderung mengembangkan
pikiran bebas. Cara memahami agama dan kitab suci hanya melalui ayat-ayat saja
cenderung tertutup. Saya lebih terkesan jika bisa dijelaskan juga melalui
penalaran, spiritual, dan juga pendekatan sains. Karena itu saya tak begitu
dekat.
Di HMI kariernya moncer. Ia menjadi sekjen HMI MPO yang
pertama, di masa Eggy Sudjana sebagai ketua umum. Pertemanannya dengan Eggy
berlanjut saat Nuskhi melanjutkan kuliah S2 (lulus 1995) dan S3 di IPB. Saat
itu Eggy mendirikan organisasi buruh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia
(PPMI), Eggy menjadi ketua umum dan Nuskhi menjadi sekjennya. Kantornya di Jl
Pejaten, Jakarta Selatan. Hanya satu kilometer dari Republika. Saya yang
bekerja di Republika kadang mampir di PPMI. Hubungan saya dengan Mas Nuskhi
berlanjut dan menjadi dekat. Saat S3 (1999), Mas Nuskhi sakit keras. Ada
serangan virus. Ia sempat lumpuh, bahkan buta. Setelah perawatan di Yogyakarta,
ia bisa sembuh. Namun ia tak melanjutkan studi doktoralnya. Ia kembali mengajar
di Purwokerto.
Ia kemudian menjadi ketua takmir Masjid Fatimatuzzahra,
Purwokerto. Saya kadang diundang untuk mengisi acara atau jika saya pas ke
Purwokerto maka ia akan mengundang saya untuk mengisi acara atau sekadar untuk
silaturahim. Setelah tak aktif di Masjid Fatimatuzzahra, ia aktif di Masjid
Agung Baitussalam Purwokerto, di sebelah alun-alun. Saya diundang juga untuk
mengisi acara. Hubungan itu terus berlanjut hingga saya sering mampir ke
rumahnya yang asri dan adem. Kadang saya lebih memilih menginap di rumahnya
daripada menginap di hotel.
Mas Nuskhi orang yang egaliter. Walau memiliki pendirian
yang kuat dan tegas, ia mudah diajak berbicara dan jika berbicara apa adanya
dan penuh semangat dengan intonasi penuh. Walau saat saya kuliah tak dekat,
justru setelah lulus menjadi dekat. Saya melihat, Mas Nuskhi makin terbuka dan
makin lentur. Prof Totok Agung, sahabatnya dari Fakultas Pertanian yang juga
sama-sama menjadi dosen, bercerita bahwa Mas Nuskhi memiliki hobi bermain
gitar. Ini yang tak pernah saya lihat. “Favoritnya menyanyi lagu-lagu Bimbo,”
katanya. Ia juga senang bermain pingpong, bahkan setelah terkena gangguna
ginjal ia tetap rajin bermain pingpong.
Suatu kali, teman-teman HMI MPO di Purwokerto bercerita
bahwa Mas Nuskhi lebih dekat dengan teman-teman HMI Dipo. Saat saya mampir ke
rumahnya, seolah ia mengetahui tentang rumor itu. Tanpa saya bertanya, ia
bercerita tentang kedekatannya dengan teman-teman HMI Dipo. “Semua sama-sama
HMI. Saya sering diundang untuk mengisi acara HMI Dipo dan mereka juga sering
datang ke rumah untuk diskusi,” katanya. Rupanya pengalaman saya pun sama. Saat
saya di Republika, justru teman-teman HMI Dipo yang lebih sering datang
silaturahim atau saya diundang ke acara HMI Dipo. Perbedaan di masa lalu bukan
hal yang harus terus dipertentangkan. Apalagi perhimpunan alumninya tidak terpecah
menjadi dua.
Mas Nuskhi orang yang semangat dan bergairah dalam menjalani
hidup. Ia dua kali terkena sakit keras. Pertama, saat kuliah S3 di IPB. Kedua,
saat terkena gagal ginjal. Suatu kali ia bercerita tentang rutinitasnya cuci
darah alias hemodialisa. “Orang yang kena gagal ginjal seperti saya ini, harus
pandai-pandai bersyukur,” katanya. Menurutnya, jika dijalani dengan rileks dan
optimis maka orang dengan sakit gagal ginjal akan menjalani aktivitasnya biasa
saja – hanya ada keharusan cuci darah saja yang bisa dua-tiga kali sepekan.
“Suatu kali ada anggota baru. Badanya tegap dan gagah, tapi dia murung dan
negatif dalam menjalaninya. Saya menyemangatinya,” katanya. Orang-orang dengan
gangguan ginjal yang rutin cuci darah memiliki komunitas tersendiri, mereka
akan bertemu rutin. Setidaknya saat cuci darah di rumah sakit. Nah, pria yang
berbadan tegap itu ia sebut sebagai anggota baru karena baru pertama kali
menjalaninya. Ia menasihati agar dijalani dengan rileks, riang, dan mau
menerima kenyataan. “Tapi pria itu murung dan tak mau menerima kenyataan. Saya
mbatin, ini tidak baik,” katanya. Beberapa bulan kemudian pria itu meninggal
dunia.
Saya kagum pada gairahnya dalam menjalani hidup. Mas Nuskhi
rajin silaturahim bertemu kerabat dan teman, termasuk yang rumahnya jauh. Suatu
kali ia ke Jawa Timur, lain kali ke Jawa Barat. Semua dijalani dengan membawa
mobil. Bukan naik angkutan umum. Padahal orang dengan gangguan ginjal
semestinya tak boleh terlalu lelah. Ia telah menjalani perawatan cuci darah sejak
2018. Ia pernah bercerita bahwa ginjalnya terganggu sebagai dampak sakitnya
saat kuliah di IPB dulu. Suatu saat ia sakit, pada 22 Juni 2019 saya menanyakan
kabar itu. Rupanya sakit itu dampak dari sakit ginjalnya dalam setahun ini.
“Gangguan fungsi ginjal, sehingga tiap Sabtu dan Rabu harus menjalani
hemodialisa. Saya sudah hemodialisa sejak satu tahun lebih yang lalu. Tapi
ALCHAMDULILLAH BADAN TETAP SEHAAAAT….,’’ katanya, pada 23 Juni 2019. Huruf
kapital dan huruf A hingga empat kali itu asli ketikan Mas Nuskhi, yang sedang
menunjukkan semangat dan optimisnya.
Mas Nuskhi dikaruniai tiga anak. Anak pertama, Ilman
Naafi’an sarjana dari ITB dan kini memiliki usaha di Purwokerto. Awalnya
bekerja di Jakarta, namun karena kondisi ayahnya, ia memilih menemani ayahnya.
Anak kedua, Yutskhina Musaarah, sarjana farmasi dari UGM, dan kini di apotek di
Purwokerto. Sedangkan anak bungsu, Urfa Tabtila, adalah sarjana kedokteran gigi
dari UGM.
Tanggal 17 Juni 2021, saya dikabari Sriyanto melalui pesan
whatsapp, yang rupanya forward dari anak Mas Nuskhi: “Bulik, Bude, Tante, Om,
semuanya mohon doanya. Tadi dikabari oleh perawat kondisi ayah memburuk.
Setelah hemodialisa kemarin, ureum dan kreatini bukannya turun malah naik.
Kesadaran juga menurun. Sekarang sedang dikonsultasikan dengan spesialis syaraf
terkait kejang setelah hemodialisa minggu lalu. Sekarang, Umi, Yusi, Ilman, dan
Urfa sudah di rumah sakit. Mohon doanya.”
Setelah itu, saya kirim doa untuk Mas Nuskhi, juga mengirim
pesan lewat whatsappnya. Pada Ahad, 20 Juni 2021, saya berkirim pesan lagi
menanyakan perkembangannya. Lalu dijawab anaknya: “Kondisi ayah masih belum
stabil. Untuk kesadaran sudah ada peningkatan sedikit demi sedikit. Masih
diterapi meningkatkan fungsi liver dan ginjalnya dengan cuci darah. Mohon
doanya selalu.”
Namun pukul 07.52, Senin, 21 Juni 2021, Sriyanto
menyampaikan kabar duka. Mas Nuskhi wafat sekitar pukul 06.30 WIB. Inna lillahi
wa inna ilaihi rojiun. Rasa sedih menggelayut. Teringat pada obrolan di suatu
sore di teras rumahnya di Sumampir, di pinggiran Purwokerto arah Baturraden.
“Purwokerto memang mengasyikkan. Kotanya tenang, udaranya sejuk, dan airnya
berlimpah. Enak buat masa tua,” kataku, mengenang masa kecilku yang juga
tinggal di desa – kini desaku sudah bukan lagi desa. Lalu, Mas Nuskhi
menimpali: “Ya sudah, pensiunnya di Purwokerto saja. Nanti bareng-bareng
mengelola pesantren,” katanya mengajak dengan serius. Hari-harinya, selain
sibuk sebagai dosen, Mas Nuskhi memang sibuk berdakwah.
Mas Nuskhi mengalami kejang-kejang saat menjalani cuci darah
di RS DKT, bahkan kehilangan kesadaran. Alief Einstein, juga sahabat Mas Nuskhi
sesama dosen, bercerita, selanjutnya Mas Nuskhi dibawa ke RS Geriatri.
Sebagaimana seharusnya, pasien baru harus dites PCR, ternyata positif terpapar
Covid19. Karena itu ia kemudian dibawa ke RS Margono untuk mendapat perawatan
sebagai pasien Covid19. Atas dasar itulah, penguburannya mengikuti protokol
penguburan Covid19. Pihak keluarga sejak awal mengumumkan, yang disebar
berantai melalui pesan whatsapp, bahwa tak perlu bertakziyah. Cukup melakukan
sholat ghaib dan mendoakan dari tempat masing-masing. Masjid Agung Batitussalam
juga mengadakan sholat ghaib. Namun ketokohan Mas Nuskhi telah membuat
orang-orang tetap bertakziyah ke rumah. Ramai juga. Mereka merasa kehilangan.
Saat mobil jenazah melintas di depan kompleks perumakan untuk menuju lokasi
pemakaman, terpaksa mobil jenazah berhenti sebentar. Warga yang dari awal
berjajar dari rumah hingga di ujung jalan kompleks perumahan pun memanjatkan
doa, melepas kepergian ustad yang tak pernah dipanggil ustad itu. Selamat jalan
Mas, kau orang baik.
n.
Penulis adalah alumnus Fisip Unsoed angkatan '86 dan mantan Pemred Harian Republika.
1 Komentar
Subhanallah, beliau mempunyai rekam jejak hidup yg mulia 🙏🏼 Semoga beliau pergi dengan tenang, dan mendapatkan tempat yg layak disisiNya, aamiin🤲🏼🤲🏼
BalasHapusJika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer