Menunggu Peran "Nyata" Unsoed di Level Nasional

Bambang Suharno
 Sabtu 27 Nov 2021 lalu, saya menyempatkan diri ikut   menyimak acara Temu Alumni Unsoed secara virtual   yang diselenggarakan oleh kampus dan dihadiri oleh   sejumlah pengurus KA-Unsoed, Keluarga alumni     fakultas serta para pimpinan universitas. 

 Diskusi temu alumni ini membahas topik IKU dan   MBKM. Apa itu IKU dan MBKM? Hehe saya tidak   akan  membahas topik ini karena saya bukan ahlinya.   Saya mau menulis satu bagian kecil dari diskusi yang saya yakini kalau ditindaklanjuti dengan baik dan konsisten akan berdampak besar bagi Unsoed dan para alumninya.

Begini ceritanya. Luwarso, salah satu tokoh alumni Unsoed yang cukup kondang, menyampaikan pesan penting yang menurut saya, mewakili sebagian besar pandangan alumni. Alumni yang satu ini disebut-sebut sering diundang Presiden Jokowi karena prestasinya dalam mengembangkan usaha berbasis kerakyatan.(silakan lihat salah satu beritanya di sini https://www.obsessionnews.com/jokowi-kagum-pemanfaatan-petani-dan-pengolahan-beras-modern/)

Begini pesan pentingnya; "Kini saatnya Unsoed jangan hanya memikirkan Banyumas dan sekitarnya saja melainkan memikirkan Indonesia. Unsoed harus punya peran nyata secara nasional". 

Menyimak pendapat Luwarso, saya ingat tentang karya Prof Muladno,  dosen Fapet IPB yang juga  aktivis berbagai organisasi peternakan , yang menggagas konsep SPR (Sekolah Peternakan Rakyat). Konon karena konsep ini, Muladno lolos seleksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan-Kementerian Pertanian. Saat menjadi Dirjen, program SPR menjadi unggulan Dirjen, dan ketika balik ke kampus, program SPR tidak dilanjutkan sebagai program pemerintah oleh dirjen penerusnya, namun ia tak berhenti mengembangkan SPR. 

Berkat konsistensi mengembangkan SPR, Muladno terpilih menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang anggotanya sangat  terbatas pada level pakar nasional yang punya karya hebat. Kabarnya pakar peternakan baru Prof Muladno yang menjadi anggota lembaga ini. Karena SPR pula ia bersama peternak binaannya diundang berpidato di Austria di sebuah forum internasional, dan tentu saja di berbagai forum lainnya. SPR kini bukan lagi diakui sebagai karya seorang prof Muladno melainkan sebagai karya IPB University. Dimana ada SPR disitulah ada "bendera IPB".

Apa yang dilakukan Muladno dalam membina peternak, dilihat dari luar bisa jadi tampak tidak berbeda dengan yang dilakukan Fapet Unsoed dalam membina peternak di desa. Lantas apa yang membedakan dengan karya prof Muladno ? Bedanya adalah Muladno memikirkan dan mengimplementasikan konsep ini untuk peternakan nasional. Inilah yang saya tangkap dari pandangan Luwarso. Muladno membuat konsep SPR dan menjalankan konsepnya, tanpa henti mempopulerkannya ke berbagai lembaga. Ia tidak melakukan konsep SPR sebagai pembinaan di kabupaten tertentu, namun untuk Indonesia, bahkan sebagai sumbangan pemikiran level internasonal. Bahkan konsep SPR ini sempat didiskusikan untuk komoditi pertanian lain, bukan hanya peternakan.

Ingat mantan Menteri Pertanian Prof Bungaran Saragih? Tahun 1990an Bungaran adalah Ketua Pusat Studi Pembangunan (PSP) IPB, aktif mengundang para wartawan dan stakeholder pertanian untuk melakukan diskusi hampir tiap minggu. Konsep yang beliau gulirkan adalah Agribisnis. Bagi orang pertanian ini bukan konsep baru, namun Bungaran mengolahnya menjadi menarik, karena ingin mengubah pertanian yang semula diterjemahkan sebagai budidaya pertanian saja, menjadi kegiatan pertanian dari hulu hingga hilir. Ia bercita-cita mengubah pola pikir petani sebagai pembudidaya menjadi pelaku agribisnis. Sehingga kalau bicara tentang peternakan, profesor ini mengatakan "agribisnis peternakan" (ada tambahan kata agribisnis). 

Prof Bungaran ingin peternak tidak lagi menjual ayam hidup namun ayam beku, kalau perlu ayam sudah dikasih bumbu agar memiliki nilai tambah. Jika itu belum bisa, ia memikirkan lagi bagaimana supaya ada simpul kerjasama di antara pelaku agribisnis agar ending-nya peternak tidak terjepit di antara harga pakan dan bibit yang "konsisten" bergerak sesuai nilai inflasi dan harga jual ayam hidup yang sering jatuh bangun. Juga agar perusahaan sapronak (sarana produksi ternak) tidak terjebak piutang macet akibat peternak terus merugi. Impian ini belum direaliisr hingga sekarang, tapi konsep agribisnis lah yang membuat ia populer dan menjadi Menteri Pertanian.

Apakah Unsoed belum melakukan hal semacam itu? Saya yakin pakar-pakar Unsoed sudah memberikan karya nasional. beberapa media juga sudah memuat, namun dengan usia Unsoed yang tidak muda lagi, popularitas konsep untuk nasional masih terasa jarang didengar. Saya coba googling saja, tentang pakar peternakan, pakar pertanian, pakar ekonomi dan lain-lain,  yang muncul lebih dominan pakar kampus lain.

Tapi jangan kecewa dulu. Beberapa tahun lalu saya sempat mengikuti seminar di Jakarta tentang UKM dengan narasumber pejabat dari Kementerian Koperasi dan UKM. Salah satu pejabat kampus yang jadi tuan rumah menanyakan bagaimana cara mendapatkan dana untuk pembinaan UKM.  Ia minta diberi kesempatan melakukan pembinaan UKM dan koperasi bekerjasama dengan Kemenkop.

Pejabat tersebut menanggapi dengan kalimat yang membuat saya tersenyum bangga. Ia menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan kerjasama dengan beberapa kampus dan salah satunya dengan Unsoed yang realisasinya sangat baik. Menurutnya melalui kampus di daerah seperti Unsoed, dana pembinaan dimanfaatkan secara efektif dan mereka sangat paham bagaimana membina UKM dan petani di lapangan.

Mendengar jawaban itu, saya sebagai alumni Unsoed sangat bangga, ternyata Unsoed hebat. Sayangnya, kalimat itu tidak ada yang memberitakan di media nasional. 

Suatu hari yang lain, saya ikut seminar koperasi di UI. Narasumbernya salah satu praktisi koperasi lulusan Universitas Brawijaya. Selesai seminar, ia berbincang dengan saya. "Kalau urusan koperasi, orang UI kan banyak pakarnya, tapi mempraktekkan koperasi yang baik, mereka perlu belajar ke kita. Unsoed adalah salah satu kampus yang sukses membangun koperasi mahasiswa," ujarnya. Kali ini saya dibuat bangga juga sebagai alumni Unsoed.

Begitupun di bidang peternakan, banyak kalangan mengakui, alumni Fapet Unsoed adalah yang paling hebat mengamalkan ilmunya di dunia usaha peternakan. Dimana ada breeding farm, comersial farm, feedmill di seluruh pelosok Indonesia, hampir bisa dipastikan ada alumni Fapet Unsoed. Tidak heran jika Unsoed diberi kepercayaan kerjasama kandang modern closed house dari sebuah perusahaan terkemuka. Bahkan beberapa kalangan berpandangan kalau melihat kiprah alumninya, Unsoed bisa mendapatkan kerjasama lebih hebat lagi dari berbagai lembaga nasional dan multinasional.

Bagaimana caranya? Pastinya perlu dibuat peta jalan alias roadmap yang keren dan dijalankan secara konsisten. Misalnya pakar-pakar Unsoed diajak untuk lebih banyak lagi menyumbangkan konsep dan pemikiran di level nasional. 

Di bidang pertanian dan peternakan, masyarakat membutuhkan sumbangan konsep dan contoh kongkrit misalnya mengenai sistem pendataan populasi dan produksi pertanian agar lebih akurat. Contoh kasus yang sampai sekarang menjadi polemik yang merugikan peternakan adalah data produksi jagung Indonesia dimana versi pemerintah menyatakan 26 juta ton (katanya surplus 2,5 juta ton), sedangkan USDA menghitung produksi jagung Indonesia hanya 12 juta ton. 

Kenapa USDA yang punya satelit canggih untuk memotret bumi, bisa punya data yang berbeda sangat nyata dengan data pemerintah Indonesia? Pertanyaan masyarakat juga, kenapa surplus 2,5 juta ton, harga jagung jauh di atas harga normal, sedangkan pasar Indonesia sangat sensitif dengan over supply?

Masalah lain yang butuh pandangan ahli misalkan Pengaturan kemitraan usaha agar lebih berkeadilan dan mudah dipraktekkan, kebijakan ekspor impor komoditi pertanian agar petani tidak tergerus barang impor (apalagi dengan harga dumping), sistem tata ruang usaha peternakan agar peternakan memiliki kepastian usaha (peternakan sering disuruh pindah karena pemukiman menduduk mendekati area peternakan) , pembibitan ternak domba kambing berkelanjutan agar tidak terjadi kekurangan bibit seiring meningkatnya kesadaran kurban dan akikah, program swasembada daging sapi, dan masih banyak yang lainnya.

Nah, ini semua mungkin saja sudah dibahas di kampus, namun para alumni belum melihat tampilnya Unsoed sebagai universitas maupun pakar Unsoed sebagai individu  dalam memberikan sumbangan pemikiran untuk nasional. Ini bukan lagi sekedar reputasi jurnal internasional ataupun tentang Indikator Kinerja Utama (IKU)  ataupun parameter lainnya yang ditetapkan Kementerian dan harus dikejar oleh  petinggi universitas. Ini adalah sebuah langkah untuk kemajuan bersama yang ditunggu-tunggu para alumni. Saya percaya para tokoh alumni siap berkontribusi dalam menyusun semacam Roadmap Peran Unsoed di Level Nasional.

Bagaimana pendapat Anda?***

Bambang Suharno Fapet-85
Artikel ini disusun khusus untuk website Kafapet-Unsoed.com

Posting Komentar

0 Komentar