Sidang Terbuka Senat Pengukuhan Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman, pada Selasa, 29 Maret 2022 mengukuhkan dosen Faklutas Peternakan Unsoed Dr. Ir. Dattadewi Purwantini, M.S., menjadi Guru Besar. Bersama dengan Prof. Dattadewi, ikut serta dikukuhkan tiga dosen Unsoed lain. Mereka adalah Prof. Dr. Agatha Sih Piranti, M.Sc. (Bidang Ilmu Limnologi), Prof. Dr. Warsinah, Apt., M.Si. (Bidang Ilmu Biokimia), dan Prof. Dr. Agus Hery Susanto, M.S. (Bidang Ilmu Genetika). Bidang keilmuan Prof. Dattadewi sendiri adalah Bidang Ilmu Pemuliaan Ternak.
Pidato ilmiah Prof. Dattadewi berjudul Itik Lokal Indonesia dalam Perspektif Pemuliaan Ternak Berbasis Biomolekuler. Berikut ini perbincangan wartawan Kafapet-Unsoed.com Sutriyono dengan guru besar kelahiran Yogyakarta, 31 Oktober 1959 tersebut.
Prof. Dattadewi, Ibu memulai penelitian mengenai itik sejak tahun 2000. Itu berarti Ibu telah memulai lebih dari 20 tahun lalu, beberapa tahun sebelum kemudian mengambil program doktoral di UGM (2009). Apa yang membuat Ibu tertarik dengan itik?
Jadi begini. Itik lokal sebagai
plasma nutfah di Indonesia memiliki keunggulan sebagai sumber protein, baik
telur maupun daging, dan pendapatan bagi masyarakat perdesaan. Menurut
Ditjennak, 2021, sumbangan itik sebesar 14,72% atau 290,10 ribu ton dari
kebutuhan telur nasional. Itu sumbangan yang tidak kecil.
Nah, pada sisi lain, itik
memiliki keunggulan tersendiri. Dibandingkan dengan unggas lain, ia memiliki
daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan baru. Oleh karena itu, itik mudah
berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Wah ini menarik. Disebutkan, itik bisa berkembang di hampir seluruh
wilayah Indonesia. Kenyataannya ada banyak macam ragam bentuk atau penampilan
itik. Sebagai awam, tentu yang pertama terlihat adalah penampilan fisik. Apakah
Prof. Dattadewi juga menemukan semacam kekerabatan di antara mereka meskipun
penampilannya ada beda-beda sedikit satu dengan yang lain?
Saya mulai dengan yang ini dulu;
pemberian nama itik biasanya disesuaikan dengan lokasi atau tempat
pengembangannya dan mempunyai ciri-ciri morfologi yang khas dan unik. Itu
pendapat Hetzel, 1985 dan Wilson et al., 1997.
Itik asli Indonesia termasuk
jenis Indian Runner atau Anas
plathyrynchos. Itik ini merupakan hasil penjinakan itik liar yang disebut Anas Boscha atau Wild Mallard. Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang
lalu dengan Asia Tenggara salah satu pusatnya.
Di Indonesia terdapat 15 rumpun
itik lokal. Hal ini berdasarkan penetapan pemerintah melalui Kementerian
Pertanian Republik Indonesia. Seperti saya sebutkan tadi, nama mengikuti tempat
pengembangannya serta mempunyai ciri-ciri morfologi yang khas. Misalnya di
Tegal kita mengenal itik tegal. Selain Tegal, tempat-tempat lain adalah adalah
Magelang, Mojosari, Cihateup, Pajajaran, Rambon, Turi, Pitalah, Kamang, Bayang,
Kerinci, Pegagan, Talang Benih, Bali, dan Alabio.
Tahun 2013, saya dan beberapa
teman melakukan penelitian dan berhasil melakukan penelusuran asal-usul lima
itik lokal di Indonesia menggunakan D-loop
DNA Mitokondria. Lima itik lokal di Indonesia adalah itik magelang, itik tegal,
itik mojosari, itik bali, dan itik alabio. Penetapan itik magelang dan empat
itik lokal lainnya didasarkan pada sifat kualitatif dan kuantitatifnya.
Wah, kalau mau mengetahui apa itu D-loop DNA Mitokondria mungkin butuh
ruang dan waktu yang panjang ya, Prof? Akan tetapi, ketika mencoba memahami
pidato pengukuhan kemarin yang tertangkap adalah, Prof. Dattadewi sepertinya
lantas fokus pada itik magelang? Apakah demikian?
Ya benar. Hasil penelitian saya
dengan Ibu Iswoyowati pada tahun 2009 mendapatkan data bahwa secara kuantitatif
itik magelang memiliki bobot badan yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan itik tegal dan itik mojosari yaitu 1.754 ± 136 g dibanding 1.482 ± 124 g
dan 1.476 ± 120 g.
Penelitian saya dan teman-teman
tahun 2002 mendapati, itik magelang memiliki produksi telur yang relatif lebih
tinggi ditinjau dari Hen Day Production
(HDP). Produksinya sebesar 75,63 ±
20,68% dibanding itik tegal dan itik mojosari yang masing-masing 42,42 ± 17,72 dan 69,25 ± 22,16%.
Pada tahun 2013, saya dan
beberapa teman melakukan penelitian mengenai sifat kualitatif yaitu warna bulu pada itik magelang yang
ternyata lebih bervariasi dibandingkan itik lokal lainnya. Secara kualitatif
itik magelang memiliki sebelas macam warna bulu berbeda yaitu: A. Jarakan polos
(coklat polos), B. Bosokan (coklat tua), 3. Klawu blorok (coklat muda campur
putih), D. Kalung ombo (berbulu coklat, pada leher terdapat kalung putih yang
lebar), E. Kalung ciut (berbulu coklat, pada leher terdapat sedikit kalung
putih), F. Cemani (Hitam polos), 7. Gambiran (coklat tua campur putih), G.
Jarakan kalung (berbulu coklat, pada leher terdapat kalung putih), H. Jowo
polos (coklat dengan pola spesifik), I. Wiroko (hitam campur putih) dan J.
Putih polos (paruh dan kaki berwarna kuning) (Gambar 1). Itik lokal lainnya
yaitu itik tegal, itik magelang, itik mojosari, itik bali, dan itik alabio
mempunyai warna bulu yang relatif seragam.
Nah, kembali ke soal kekerabatan
itik…
Nah iya Prof, pertanyaan tadi soal kekerabatan, bagaimana?
Filogenetik itik Magelang dan
hubungannya dengan itik lokal lainnya di Indonesia dapat ditelusur menggunakan
analisis D-loop mtDNA tadi. Dari situ
kita dapat melacak asal-usul betina yang menurunkan itik magelang dan
menetapkan hubungan kekerabatannya dengan itik lokal lainnya. Keunikan dan
kemurnian itik magelang dapat ditetapkan dan diharapkan mempunyai kemampuan
produksi dan reproduksi tinggi atau unggul dibandingkan itik lokal lainnya.
Wah, sangat menarik. Jadi kalau pada manusia mungkin semacam
penelusuran siapa kakek atau nenek buyut kita, juga orang atau suku mana yang
masih terhitung kerabat dekat.
Kurang lebih demikian.
Penelusuran asal-usul itik lokal di Indonesia berdasarkan hasil sekuensing pada
daerah D-loop mtDNA telah berhasil
saya dan teman-teman lakukan pada 2013. Sekedar informasi teknisnya, informasi
tentang identifikasi dan keragaman genetik secara molekuler menggunakan
analisis Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism
(PCR-RFLP) dan Single Nucleotide
Polymorphysm (SNP) daerah D-loop
mtDNA. Hal itu telah menetapkan hubungan kekerabatan dan mengungkap
asal-usul atau filogenetik itik magelang dan itik lokal di berbagai wilayah
Indonesia.
Hubungan kekerabatan suatu
spesies maupun antar spesies dapat diketahui dengan menduga jarak genetiknya (distance estimation) dan untuk penentuan
asal-usul bangsa ternak dapat dilakukan dengan penyusunan pohon filogenetik (phylogenetic tree) beberapa spesies/kelompok
berdasarkan karakteristik polimorphismenya.
Diperoleh rerata dan simpangbaku
persentase kesamaan nukleotida itik lokal dengan itik Anas platyrhynchos sebesar 99,68 ± 0,56%. Persentase kesamaan
nukleotida yang tinggi ini pada itik lokal di Indonesia dengan itik Anas platyrhynchos yang diperoleh,
menunjukkan bahwa sebagian besar itik lokal di Indonesia berasal atau
diturunkan dari itik Anas platyrhynchos.
Hubungan genetik dan penelusuran asal-usul itik lokal di Indonesia dengan itik
Anas lainnya di dunia dapat dijelaskan dengan analisis jarak genetik dan gambar
pohon filogenetik atau filogram.
Itu adalah kekerabatan antara itik lokal dengan itik Anas. Bagaimana
kekerabatan itik magelang dengan itik lokal lain?
Nah, hal tersebut demikian. Itik
lokal yang berkontribusi pada itik magelang adalah itik tegal, itik mojosari, itik
bali, dan itik alabio. Variasi jarak genetiknya masing-masing 0,000 sampai
0,029. Besarnya kontribusi dari itik tegal dan mojosari diduga karena kedekatan
secara geografis. Tegal berada di Jawa Tengah, demikian juga Magelang.
Sementara Mojosari di Jawa Timur. Karena jarak yang relatif dekat, dimungkinkan
adanya persilangan yang cukup intensif.
Bagaimana dengan kontribusi dari
itik bali dan itik alabio? Kontribusi mereka pada itik magelang diduga selain
karena adanya perkawinan acak yang berlangsung lama juga induk yang menurunkan
itik magelang, itik bali dan itik alabio mempunyai garis keturunan induk (maternal inheritance) yang sama.
Baik Prof. Selain menelisik kekerabatan itik, yang saya tangkap Prof
Dattadewi juga bicara mengenai seleksi itik lokal Indonesia (ILI), khususnya
itik tegal dan itik magelang?
Ya betul. Saya sampaikan saja
dari bagian akhir yaitu kesimpulannya ya.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, Follicle Stimulating Hormone
(FSH) gene, Growth Hormone (GH) gene
dan prolactin (PRL) gene yang
diperoleh mempunyai keterkaitan dengan kinerja produksi, pertumbuhan dan
reproduksi sehingga dapat direkomendasikan sebagai dasar seleksi pada ILI
khususnya itik Tegal dan Magelang serta persilangannya
Wah kalau ini dipaparkan tampaknya akan butuh dua semester kuliah. Untuk
sementara biar nanti saya coba melihat ulang dan ulang videonya di YouTube.
Nah, saya ajukan pertanyaan ringan saja di akhir sebagai penutup.
Bagaimana perasaan Prof. Dattadewi selepas dikukuhkan penjadi Guru Besar?
Pertama dan paling utama adalah rasa syukur yang tiada terkira, yang ditujukan pada Allah SWT, karena atas karuniaNya, kemudahan, kelancaran, keberkahan, kesempatan, rahmat, taufik, hidayah dan ridloNya saya dapat mencapai jenjang akademik tertinggi ini yaitu sebagai Guru Besar (GB).
Selanjutnya untuk sementara merasa sudah terlepas dari beban dalam mempersiapkan pengukuhan GB. Persiapan untuk itu sungguh perlu pemikiran, waktu, moril dan material serta fokus, agar dapat menyampaikan orasi ilmiah yang sebaik-baiknya. Bagi saya itu penting sebagai pertanggungjawaban dari seorang Guru Besar di bidangnya.
Hal selanjutnya,
adalah harus tetap semangat dan istiqomah
(kontinyu) untuk dapat selalu berkarya. Selain itu juga berdaya guna dan
berjuang dalam pekerjaan sebagai manifestasi dari amanah dari Allah SWT.
Semuanya harus sayua laksanakan secara ikhlas untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan akhirat.
***
Prof. Dr. Ir. Dattadewi Purwantini, M.S. lahir di Pojok Beteng Kulon atau Suryaden Yogyakarta 31 Oktober 1959. Perempuan yang melewatkan studi TK hingga SMA serta kuliah S1 di Purwokerto ini adalah putri sulung dari Drs. H. Djarwoto Aminoto dan Hj. Siti Aminah. Kuliah S1 dijalani di Fakultas Peternakan Unseod, masuk tahun 1973 dan lulus 1983.
Studi S2 dijalani di Fakutas Peternakan UGM tahun 1989,
selesai tahun 1992. Sementara itu studi doktoral juga dijalani di kampus yang
sama, masuk tahun 2009 dan lulus 2013.
Dattadewi menikah dengan R. Singgih Sugeng Santosa pada
tanggal 13 September 1985. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai tiga orang
putra putri. Mereka adalah Arif Prashadi Santosa, Arini Dewi Setyowati, dan
Aditya Trisna Agung Santosa.
Selain menjadi dosen Pemuliaan Ternak di Fakultas Peternakan
Unsoed, sejak tahun 2018 ia menjadi Tim Konselor Bimbingan dan Konseling (BK) Unsoed.
Pada Januari 2020 ia mendapat tanggung jawab untuk mengepalai lembaga tersebut.
Ada beberapa penghargaan diperoleh Prof. Dattadewi. Satya Lancana Karya Satya diperoleh untuk 20 dan 30 tahun pengabdian. Selain itu juga penghargaan untuk Dosen Berprestasi II Fakultas Peternakan Unsoed pada tahun 2006 dan 2014.***
Diolah dari hasil wawancara dan pidato ilmiah pengukuhan Guru Besar Dr. Ir. Dattadewi Purwantini, M.S.
- Penulis: Sutriyono
- Foto : Web Unsoed dan Alief Einstein
- Editor : Bams
0 Komentar
Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer