Budiyanto, Seorang Guru Menjemput Asa di Bumi Timor Loro Sae


Kafapet-Unsoed.com. Sidrap, Sulsel. Selepas lulus tahun 1989 dari Fakultas Peternakan Unsoed, Budiyanto angkatan 83 mengabdikan diri menjadi guru Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) di Timor Timur hingga tahun 1999. Kala itu Timor Timur adalah Provinsi ke 27 dari Negara Republik Indonesia.

Sepuluh tahun lamanya (1989-1999), semua tenaga,  pikiran, waktu dicurahkan di bumi Timor Loro Sae,  sampai akhirnya bekas Provinsi ke 27 memisahkan diri untuk Merdeka. 

Selama menjadi mahasiswa, Budiyanto aktif menjadi asiten mahasiswa di Laboratorium Reproduksi Ternak. Setelah lulus hampir sama dengan yang dilakukan oleh alumni lainnya yaitu mengirim lamaran pekerjaan ke intansi pemerintah. Salah satunya adalah mengirim lamaran ke Sekolah Pembangunan Pertanian (SPP) Timor Timur. Dan ternyata diterima menjadi salah satu staff pengajar (Guru). 

Pada awalnya,  ada sedikit keraguan karena ada perbedaan sosial budaya dengan orang-orang di daerah Jawa.   Di samping itu,  belum terbayang menjadi sosok seorang guru, profesi yang benar benar menjadikan pengalaman baru.

Ketika itu, dalam hati yang paling dalam, tiimbul pertanyaan bagaimanakan menjadi figur seorang guru. Terbayang para guru terdahulu yang telah mengajari mulai dari guru SD, SMP dan SMA, sampai mengikuti cara mengajar seorang dosen Fapet Unsoed paling pavorit kala itu, yaitu (alm) E. Agus Marmono dosen pemuliaan dan statistik.

Tahun 1989, tiba di kota Dili Timor Timur, semua terasa berbeda dan sungguh tidak percaya. Ternyata,  kota tujuannya bukan di Dili tetapi di sebuah kota kecil di Natarbora terletak di lembah dan merupakan daerah konflik kala itu. 

Semua kebutuhan logistik,  baru dikirim setiap 3 atau 4 bulan sekali.  Logistik yang berisi makanan pokok dan juga sumber energi seperti solar untuk menghidupkan genset. 

Perjalanan dari kota Dili ke kota Same Kabupaten Manufahi kurang lebih 100 km. Kondisi jalanan sangat semoit,  berkelak kelok tajam dan jurang  memutari gunung, sehingga merayap, tiap berpapasan dengan kendaraan lain berhenti dulu, cari posisi aman untuk lewat. 

Sulit untuk digambarkan,  dalam perjalanan perdana ini.  Antara keindahan alam, hati yang bergejolak dan teman-teman yang tetap memberikan semangat.

Kota Same dibawah lembah gunung Kablaki, sebuah kota transit jika menuju Natarbora sebuah wilayah kabupaten Manatuto. Kota yang sejuk, masih tradisonal semua rumah yang semi modern terlihat bernuansa gaya arsitektur  Portugis. Di kota ini banyak sekali sungai-sungai besar dan belum ada jembatanya sehingga jika hujan turun maka akan meluap.  

Mengajar di SPP dengan keadaan Sumber Daya Manusia yang masih rendah, menjadi tantangan tersendiri. Guru harus menyesuaikan diri dengan kemamouan siswanya. 

Kala itu,  Kepala Kantor  Pertanian Wilayah Timor Timur memberikan pesan bahwa siswa jangan diajari  banyak teori cara mencangkul, cara bertanam, memupuk, serta jangan terlalu banyak hitung-hitungan, karena kemampuan siswa masih rendah. 

"Jadi metode cara mengajar kala itu,  praktekan langsung dilapangan, bagaimana cara mencangkul, bagamana cara tanam, bagaimana cara memupuk dan bagaimana cara panen", tutur Budiyanto. 

Budiyanto lanjut bercerita,  perihal jaminan yang diberikan pemerintah untuk sekolah.  "ABRI,  kala itu sebutan untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya Pasukan dari Batalyon 583,  pasukan keamanan yang selalu setia menjaga keamanan lingkungan, baik sekitar sekolah, perkampungan atau wilayah sekitarnya. Jadi kami merasa aman". 

Batalyon 583 itu sendiri sebenarnya campuran dari batalyon yang berangka 3 dari jawa barat, kepala 8 dari Jawa tengah hingga kepala 5 dari Jawa timur.

Budiyanto menjelaskan,  kenapa di SPP ada pasukan 583, selain untuk menjaga keamanan dan ketertiban,  angka tersebut juga ada maknanya.  Makna lain Angka tersebut yaitu angka artinya jam 5 pagi, 8 pagi dan 3 sore. 

Angka 5 diambil dari  jam 5 pagi, dimana  seluruh warga harus bangun, yang selanjutnya  siap-siap apel  pagi, angka delapan diambil dari jam 8.00 dimana siswa mulai belajar sesuai jadwal yang ada, dan praktek sesuai mata pelajarannya. Sedangkan angka 3 diambil dari jam 3, dimana jam apel sore adalah pada jam 3.30 yang dilanjut dengan praktek sampai jam 5 sore, walaupun kadang lebih. 

Pada tahun 1997, Budiyanto meraih juara 3 Nasional dalam acara diklat Pendidikan dan Widya Iswara dii Balai Diklat Pertanian Ciawi Bogor. 

Pada Era Pemerintahan Presiden Soeharto,  Sekolah Pembangunan Pertanian Timor Timur diberikan bantuan berupa sapi perah dan ayam. Bantuan ternak sapi perah dan ayam sangat membantu,  karena ilmu peternakan akhirnya dapat dimanfaatkan walaupun pada awalnya sering banyak kendala teknis. 

Kisah Guru Ir. Budiyanto, M.Si, Alumni Fapet Unsoed angkatan 83 dirangkum langsung oleh  jurnalis Kafapet-Unsoed.com perwakilan Kafapet Unsoed Wilayah Sulawesi Lilis Ambarwati,S.Pt., M.P beserta Rofiq Al Amin,S.Pt , M.P Ketua Kafapet Unsoed Wilayah Sulawesi.  

Kisah tersebut diharapkan bisa memberi pembelajaran bagi para generasi muda, terkhusus alumni fakultas peternakan Universitas Jenderal Soedirman untuk selalu berusaha menjalani hidup dengan penuh semangat,  pantang menyerah, sabar dan ikhlas, dan dimanapun bumi di pijak disitulah langit di junjung. 

Tidak heran,  jika para alumni yang pernah diajar di SPP memberikan kesan mendalam terhadap beliau yang dikenal sangat dekat dengan siswanya, ramah dan mudah bergaul dengan semua golongan.

Budiyanto, sekarang menjabat Kepala Sekolah SMK N 2 Sidrap Sulawesi Selatan.


Penulis : Lilis Ambarwati 

Editor   : Roni

Posting Komentar

0 Komentar