Reggae, Marley, dan Perlawanan!


Bagi penikmat seni khususnya musik, tentunya sudah tak asing lagi jika mendengar genre musik yang satu ini, reggae. Genre musik yang identik dengan sang legendaris musik dunia, siapa lagi kalau bukan Bob Marley, dengan salah satu lagunya yang sangat fenomenal “No Woman No Cry”.

Sumber tertulis mengatakan bahwa reggae berasal dari kata-kata Toots and The Maytals yang menyanyikan lagu ini (Do The Reggae) pada tahun 1967. Irama musik reggae lebih pelan dibandingkan dengan rock steady dan irama tambur musik reggae pun dipelankan menjadi apa yang disebut skank. 

Patrick Hilton dalam Campbell (1989), menyatakan bahwa puisi-puisi kebudayaan bersumber dari sejarah dan pengalaman orang-orang yang mengembangkannya, demikian juga dengan musik calypso dan reggae, yang merupakan produk-produk pengalaman historis bangsa Afrika yang ada di Karibia. 

Sementara itu, medium ekspresi protes dan sentimen orang-orang Afrika di Amerika juga telah menemukan beberapa bentuknya seperti isi dan semangat musik jazz dan blues yang ditemukan pada kaum negro Amerika (Afro-Amerika). Sama halnya dengan reggae masa kini di Jamaika, yang merefleksikan pesan yang sama, yaitu sebuah reaksi terhadap eksploitasi dan penindasan atas orang-orang Afrika di benua baru.

Musik reggae tumbuh karena semangat anti perbudakan yang memang sudah memuncak di kalangan warga kulit hitam Jamaika saat itu. Mereka telah mengalami masa-masa perbudakan selama berabad-abad lamanya. Kebuntuan itulah yang membuat mereka pada akhirnya mulai menyatukan pemikiran dan sikap dalam melawan rezim perbudakan dalam berbagai bentuk. Salah satunya melalui jalur kesenian yaitu musik reggae.

Perkembangan Musik Reggae

Tahun 1968 adalah tahun di mana musik reggae mulai berkembang pesat di tanah Jamaika. Pada periode perkembangan reggae inilah rakyat mulai mempertegas kembali pengaruh kuat nilai-nilai budaya di dalam perkembangan kepercayaan diri masyarakat. Reggae telah membuka peluang-peluang baik pada level kebudayaan, politik, maupun teknologi. 

Reggae juga merupakan sumber keberanian dan dukungan moral yang tak habis-habisnya, sedemikian rupa sehingga seniman-seniman reggae dapat memasuki arena internasional dan memaksakan kepada dunia sebuah ekspresi orang-orang tertindas yang telah dianggap rendah (inferior) secara kultural maupun secara artistik (Campbell, 1989).

Perkembangan musik reggae yang demikian pesat, tidak terlepas dari tangan emas Bob Marley dan grup musiknya The Wailers. Marley selalu menyerukan kepada banyak orang agar merdeka dari penindasan baik fisik maupun mental. Seperti pada lirik lagu Redemption Song (1979). 

"Emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our minds." 

(Lepaskanlah diri dari perbudakan mental, karena tak seorang pun kecuali diri kita sendiri yang dapat memerdekakan pikiran).

Lagu-lagu Marley lah yang kian membakar semangat para kaum dreadlock (rambut gimbal) muda untuk semakin gigih dalam melawan segala bentuk penindasan di Jamaika bahkan di seluruh dunia. Musiknya semakin dikenal luas, bahkan hampir di seluruh benua Afrika musik reggae ala Marley adalah lagu wajib perjuangan untuk melawan bentuk perbudakan di benua hitam tersebut. Semangat ini tertuang pada lagi Get Up Stand Up (1973). 

"Get up, stand up, stand up for your right, get up, stand up don’t give up to fight!"

(Bangun, berdiri, pertahankan hak-hakmu, berdirilah jangan berhenti untuk melawan!)

Lirik tersebut adalah bentuk 'provokasi' Marley dalam membakar semangat kaum muda kulit hitam untuk tetap berjuang mempertahankan hak-haknya sebagai manusia. Marley merupakan sosok legendaris musik reggae yang tak kenal lelah untuk selalu menyerukan kepada dunia bahwa perbudakan terhadap kulit hitam adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang tak beradab. 

Marley dan salah satu sahabatnya, Peter Tosh selalu menyerukan kepada setiap manusia agar jangan mudah dibodohi. Seperti pada lirik di lagu Get Up Stand Up (1973).

”You can fool some people sometimes, but can’t fool all the people all the time“

(Kau sesekali dapat membodohi beberapa orang, tetapi tidak bisa membodohi semua orang setiap saat). 

Bahkan dalam lagu ”I Shot The Sheriff," telah mampu menarik banyak penggemar dari seluruh dunia, karena simbolisme menentang penguasa tiran tidak hanya digemari oleh orang-orang kulit hitam saja, tetapi juga oleh seniman-seniman budaya kulit putih seperti Mick Jagger dan John Lennon.

Melalui lagu yang disenandungkan oleh Marley, bangsa-bangsa kulit hitam semakin gigih dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaannya, terlebih dengan propaganda Marley melalui musik reggaenya telah membuka mata dunia bahwa perbudakan adalah sebuah bentuk kekejaman kemanusiaan. Hingga pada akhirnya kemerdekaan atas segala bangsa benar-benar terwujud di atas muka bumi ini tanpa membedakan harkat dan martabat manusia berdasarkan warna kulit.



Penulis     : Farid

Foto           : ThoughtCo

Posting Komentar

0 Komentar