Ikan Penghuni Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu

Prof.Dr.Suhestri Suryaningsih,MS. (Guru Besar bidang ilmu Taksonomi Vertebrata Fakultas Biologi Unsoed).

Purwokerto, Kafapet-unsoed.com. Sungai Serayu yang terletak di Provinsi Jawa Tengah memiliki panjang 181 kilometer dengan anak-anak sungainya merupakan salah satu sungai terbesar di Pulau Jawa. Sungai Serayu masuk ke dalam 10 sungai di Indonesia yang dikembangkan sebagai sungai untuk produksi dan perlindungan ikan. Sungai Serayu bukan hanya sumber kehidupan dan ekonomi masyarakat di daerah yang dilintasinya Sungai yang membentang mulai dari Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan di Samudera Hindia di kawasan selatan Jawa Kab.Cilacap ini menjadi sumber perekonomian penting masyarakat bantaran sungai, demikian pemaparan Koordinator Sistem Informasi Unsoed Ir.Alief Einstein,M.Hum. dari hasil bincang-bincang dengan Guru Besar bidang ilmu Taksonomi Vertebrata Fakultas Biologi Unsoed Prof.Dr.Suhestri Suryaningsih,MS.

Untuk mengenal berbagai spesies ikan yang menghuni daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu, berikut penjelasan Prof. Hestri (sapaan akrab Prof.Dr.Suhestri Suryaningsih,MS.) :

Ikan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, di antaranya untuk dikonsumsi, untuk ikan hias maupun untuk obat-obatan, misalnya ikan gabus. 

Hasil penelitian yang telah Prof. Hestri lakukan di tiga anak sungai Serayu bagian hulu dan tengah yaitu sungai Tulis, Mrawu dan sungai Kali Sapi di Kabupaten Banjarnegara, menunjukkan bahwa di sungai Tulis ditemukan 14 spesies dari 5 familia, di sungai Mrawu ditemukan 13 spesies dari 6 familia dan 16 spesies dari 8 familia yang ditemukan di sungai Kali Sapi Banjarnegara. Dari total jumlah spesies yang ditemukan, anggota familia Cyprinidae sangat mendominasi yaitu 10 spesies (47,61%) dari total 21 spesies yang ditemukan (Prof.Hestri/Suryaningsih et al., 2020).

Hasil penelitian yang Prof. Hestri lakukan di anak sungai Serayu yang lain, yaitu sungai Klawing Kabupaten Purbalingga, ditemukan 18 spesies ikan air tawar dari 11 familia (Cyprinidae, Bagridae, Mastacembelidae, Anabantidae, Cichlidae, Channidae, Eleotrididae, Belontinidae, Osphronemidae, Poecilidae, dan Siluridae), dengan dominansi spesies oleh familia Cyprinidae sebanyak 8 spesies, yaitu Brek (Systomus rubripinis), Tawes (Barbonymus gonionotus), Nilem (Osteochilus vittatus), Sepat (Trichopodus trichopterus), Tambra (Tor tambra), Lunjar (Rasbora argyrotaenia), Palung/hampala (Hampala macrolepidota), dan Uceng (Nemacheilus fasciatus). Ke delapan spesies ikan ini sudah sangat dikenal masyarakat dan dijadikan andalan hasil perikanan sungai dan beberapa diantaranya juga telah berhasil dibudidayakan di kolam. Terdapat dua spesies ikan sungai dari familia Cyprinidae yang sangat berpotensi untuk dibudidayakan yaitu ikan brek dan ikan palung.

Prof. Hestri mengatakan bahwa karakter morfologi ikan brek S. rubripinis, mempunyai panjang tubuh mencapai 22 cm, bentuk tubuhnya sangat mirip dengan ikan tawes. Perbedaan yang sangat jelas dengan ikan tawes karena S. rubripinis memiliki ciri khas sirip perut dan sirip analnya berwarna oranye, adanya warna merah pada bagian selaput pelangi mata, terdapat sedikit warna merah pada operculumnya. S. rubripinis termasuk spesies ikan yang bentopelagik. Spesies ikan ini tidak memiliki dimorfisme seksual, sehingga sulit dibedakan antara ikan jantan dan betina.

Hasil penelitian Prof. Hestri berbasis metode truss morphometrics untuk membedakan secara mudah ikan S. rubripinis jantan dan betina, menunjukkan bahwa ikan jantan memiliki tubuh yang lebih langsing (memanjang) dibandingkan ikan betina. Metode truss morfometrics telah banyak dibuktikan mampu mengidentifikasi perbedaan tanda kelamin sekunder (sexing) pada berbagai spesies ikan yang umumnya tidak memiliki dimorfisme seksual atau dimorfisme seksualnya tidak jelas.

Hasil analisis terhadap kandungan hormon testosterone dan progesterone selanma satu tahun pada ikan S. Rubripinis, Indeks Gonado Somatik (IGS), Tingkat Kematangan Gonad (TKG), fekunditas dan sebaran diameter telur, menunjukkan bahwa musim pemijahan S. rubripinis berlangsung dalam waktu yang lama, tetapi puncak pemijahannya terjadi pada akhir musim kemarau hingga awal musim hujan, yang saat penelitian Prof. Hestri lakukan, bertepatan pada bulan September-Oktober. Ikan S. rubripinis termasuk tipe pemijah bertahap (partial spawner), artinya telur tidak dikeluarkan sekali dalam memijahan, tetapi dalam beberapa kali pemijahan. Tipe pemijahan ini dinilai lebih menguntungkan, karena apabila kondisi lingkungan saat itu tidak sesuai, masih ada stok telur yang akan dikeluarkan pada pemijahan berikutnya. Berbeda dengan kondisi spesies ikan tipe pemijah total spawner. Fekunditas spesies ikan S. rubripinis berkisar 7.379-39.194 butir, kisaran diameter telur 25-900 µm. Fekunditas dengan panjang tubuh berkorelasi positif yang sangat kuat, artinya semakin panjang calon induk semakin tinggi pula fekunditasnya. Temuan ini dapat dijadikan pedoman, seandainya spesies ikan ini akan didomestikasi dan dilakukan pemijahan hendaknya dipilih calon induk betina yang berukuran lebih panjang, yang jumlah telurnya lebih banyak, karena pada spesies lain kondisi ini mungkin saja berbeda. Dalam upaya domestikasi dan konservasi S. rubripinis, manipulasi reproduksi sebaiknya dilakukan pada September-Oktober, dan penangkapan ikan S. rubripinis di Sungai Klawing hendaknya dibatasi pada bulan tersebut karena ikan sedang berada pada puncak reproduksi, agar induk betina diberi kesempatan memijah untuk kesinambungan stok, jelas Prof. Hestri.

Ikan palung yang ditemukan di waduk PB. Sudirman/waduk Mrica, di sungai Serayu dan beberapa anak sungainya memiliki panjang tubuh lebih dari 30 cm, dengan berat lebih dari 1 kg. Umumnya ikan palung hanya ditemukan di sungai atau waduk yang kualitas airnya masih baik, karena spesies ikan ini sangat sensitif terhadap kualitas air yang buruk, oleh karena itu dapat dijadikan sebagai indikator kondisi kualitas perairan. Sejak tahun 2013, ikan palung masuk dalam IUCN Redlist dengan kondisi yang terancam punah. Seperti halnya pada ikan S. rubripinis, pada ikan palung juga terdapat korelasi positif yang sangat kuat antara panjang tubuh dengan fekunditas, artinya semakin panjang calon induk ikan palung, semakin tinggi pula fekunditasnya. Temuan ini dapat dijadikan pedoman, seandainya spesies ikan palung akan didomestikasi dan dipijahkan hendaknya dipilih calon induk ikan betina yang berukuran panjang, yang jumlah telurnya lebih banyak, kata Prof. Hestri.

Selanjutnya Guna mendukung upaya konservasi dan domestikasi ikan palung yang terancam punah, menurut Prof. Hestri diperlukan ketersediaan data taksonomik dari berbagai aspek, antara lain dengan mengetahui keragaman genetiknya. Kajian keragaman genetik merupakan aspek yang penting dalam konservasi dan pemanfaatan plasma nutfah pada populasi spesies di habitat alaminya, yaitu waduk PB. Sudirman dan sungai Serayu tempat penelitian dilakukan, yang menggunakan analisis isozim. Isozim adalah enzim yang bentuk molekulnya berbeda tetapi mempunyai aktivitas katalitik yang sama pada suatu jaringan atau organ, yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi keragaman genetik populasi spesies yang diteliti. Alel yang berbeda akan diwariskan secara kodominan sehingga individu heterozigot dapat dibedakan dari individu homozigot berdasarkan kenampakan pola pita yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis isozim dapat diinformasikan bahwa ikan palung di waduk PB. Sudirman dan sungai Serayu di area sebelum dan sesudah waduk, dapat mengekspresikan isozim EST, ACP, dan AAT dengan baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keragaman genetik ikan palung di area waduk paling rendah dibandingkan dengan sungai Serayu area sebelum waduk dan setelah waduk. Diduga hal ini karena ikan palung yang berada di waduk, habitatnya terfragmentasi sehingga kesempatan kawin silang dengan populasi di perairan area setelah waduk terputus. Pembangunan waduk di Indonesia umumnya tidak/belum dilengkapi dengan ‘jembatan sidat’ yang berfungsi menghubungkan populasi berbagai spesies ikan di area waduk dengan perairan sungai sebelum dan setelah waduk. Spesies ikan yang keragaman genetiknya rendah tidak baik untuk dijadikan calon induk karena memiliki kemampuan yang rendah dalam hal mengantisipasi kondisi kualitas air yang buruk. Apalagi kondisi kualitas air waduk sekarang ini sudah kurang ideal untuk tempat hidup ikan palung. Hal ini diduga karena sedimentasi di waduk PB Sudirman sudah sangat tinggi. 

Hasil-hasil penelitian yang telah Prof. Hestri lakukan dengan kolega dari Lab Taksonomi Hewan Fakultas Biologi Unsoed, diharapkan dapat dimanfaatkan untuk landasan strategi konservasi dan domestikasi ikan palung yang memiliki potensi sangat baik untuk didomestikasi dan dibudidayakan.

Prof. Hestri menambahkan bahwa fengan mengenal ikan anggota Familia Cyprinidae khususnya yang menghuni DAS Serayu, diharapkan kita akan menyayangi spesies ikan ini. Rasa sayang ini dapat diekspresikan antara lain dengan cara tidak membuang sampah ke sungai (apalagi sampah plastik) dan tidak mendukung/melakukan penambangan pasir dengan alat berat karena dapat membentuk ‘sumur-sumur’ di dasar sungai, yang akan merusak habitat berbagai spesies ikan, termasuk ikan Cyprinidae. Juga tidak mendukung/menangkap ikan menggunakan bahan peledak agar eksistensi populasi ikan akan lestari sampai anak cucu.




Penulis     : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Foto          : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Posting Komentar

0 Komentar