BUDAYA ARUBAITO DI JEPANG MENCARI PENGALAMAN DAN MEMPEROLEH TAMBAHAN PENGHASILAN


Purwokerto, Kafapet-unsoed.com. Istilah arubaito mungkin sudah tidak asing bagi sebagian besar pembelajar Bahasa Jepang baik di Indonesia maupun di Jepang. Dalam beberapa literatur Bahasa Jepang dikatakan bahwa arubaito merupakan kata serapan dari Bahasa Jerman arbeit, yang memiliki arti bekerja atau pekerjaan. Di Jepang sendiri istilah arubaito sering dimaknai sebagai kerja paruh waktu atau kerja part time, yang banyak dilakukan oleh para pelajar, termasuk para ryuugakusei atau pelajar asing, yang sedang melanjutkan studi di negeri Sakura, ujar dosen Prodi S1 Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unsoed Dian Bayu Firmansyah,S.Pd.,M.Pd. kepada Ir.Alief Einstein,M.Hum. dari kafapet-unsoed.com.

Bayu (sapaan akrab Dian Bayu Firmansyah,S.Pd.,M.Pd) mengatakan bahwa seperti yang sudah banyak diketahui, sebagai salah satu negara maju di Kawasan Asia, biaya pendidikan di Jepang dapat dikatakan sangat tinggi (mahal) jika dibandingkan dengan rerata biaya pendidikan di negara lainnya di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Faktor biaya pendidikan yang sangat tinggi ini juga ditenggarai menjadi salah satu alasan yang menyebabkan fenomena shooshi kooreika (jumlah penduduk lanjut usia lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bayi yang dilahirkan), dan berakibat pada meningkatnya jumlah muda-mudi Jepang yang memutuskan untuk tidak menikah dan membina rumah tangga dengan pasangannya akhir-akhir ini. Untuk meringankan beban biaya pendidikan yang sangat tinggi tersebut, salah satu solusi yang dipilih oleh mayoritas pelajar yaitu dengan melakukan arubaito di kafe, restoran, conbini (convenience store), kantin kampus, dan lain-lain.

Sesuai definisinya menurut Bayu arubaito adalah kerja paruh waktu. Arubaito umumnya memiliki jumlah jam kerja yang terbatas atau tidak full day seperti jam kantor pada umumnya. Tetapi memiliki fleksibilitas dalam penentuan hari kerja, tempat kerja (jika tempat arubaito memiliki banyak cabang) dan lainnya Arubaito juga umumnya dilakukan oleh para pelajar asing yang sedang melanjutkan studi di Jepang. Bagi mahasiswa asing yang melakukan arubaito, ada beberapa batasan yang harus dipatuhi seperti jumlah total jam kerja dalam satu minggu, yaitu sebanyak 28 jam saja. Jika dibuat rata-rata, maka dalam satu hari alokasi waktu maksimal untuk melaksanakan arubaito hanya empat jam saja. Tentu saja hal ini diberlakukan agar studi yang sedang dilakukan tidak terganggu dengan kegiatan arubaito, yang tidak jarang malah mengalihkan fokus belajarnya menjadi fokus untuk mencari uang saku tambahan. Pihak sekolah maupun universitas juga dapat mengatur hal ini dengan cara menerapkan aturan bahwa bagi para pelajar yang akan melakukan arubaito, untuk mendapatkan persetujuan dari pembimbingnya terlebih dahulu sebelum melamar ke tempat arubaito, jelas Anggota Asosiasi Studi Jepang Indonesia (ASJI) Bayu.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, jenis pekerjaan yang dapat dilakukan ketika arubaito pun dilakukan pembatasan. Para pelajar yang melakukan arubaito tidak dapat melamar arubaito dengan bidang pekerjaan yang “berbau” dunia malam, minuman keras, prostitusi, dan lain-lain. Jika pelajar yang melakukan arubaito melanggar aturan tersebut, besar kemungkinan visa pelajar yang telah diperoleh dapat dibatalkan dan dipulangkan ke negaranya oleh otoritas setempat. Aturan dan pembatasan-pembatasan yang ketat ini menjadi faktor pendukung dalam menjaga ketertiban pelaksanaan arubaito, sehingga tetap menjadi sebuah “budaya” yang juga menjadi daya tarik bagi para pelajar asing untuk mencoba mencari pengalaman, dan menambah penghasilan selama lanjut studi di Jepang, ungkap Bayu yang juga Pengurus Pusat Asosiasi Studi Pendidikan Bahasa Jepang Indonesia (ASPBJI).

Dari pengalaman Bayu yang juga pernah melakukan arubaito di restoran serta convenience store sewaktu studi di Jepang, ada beberapa keuntungan bagi para pelajar yang melakukan arubaito di antaranya yaitu: melatih kemandirian, memperoleh pengalaman di dunia kerja, manajemen waktu, dan pengembangan diri.

Hasil lain dari pengalaman kerja Bayu yang didapat ketika melakukan arubaito, meskipun terbilang singkat dari segi jumlah jam kerja yaitu selain cukup memberikan pengetahuan, juga pengalaman nyata dan praktis yang tentunya sulit didapatkan di sekolah atau di kampus. Modal utama Bayu dan yang harus dimiliki pelajar asing yaitu kemampuan bahasa Jepang, serta sikap dan kepribadian yang baik juga. Ketiga hal ini sangat menentukan ketika melamar pekerjaan arubaito. Meskipun berstatus arubaito, tidak ada pembedaan atau keistimewaan dari segi pekerjaan yang dilakukan oleh pelajar asing dengan para native. Sehingga pelajar asing yang melakukan arubaito dituntut harus cepat beradaptasi, agar tidak mengganggu ritme pekerjaan di tempat arubaito tersebut.

Selanjutnya, Bayu mengatakan bahwa manajemen waktu merupakan salah satu keterampilan yang sangat terasah ketika melakukan arubaito. Hal ini karena ketika memutuskan arubaito, para pelajar dituntut komitmen untuk menjaga fokus antara belajar dan bekerja paruh waktu, agar studi yang menjadi alasan utama datang ke Jepang menjadi tidak terbengkalai. Di sisi lain, pelajar juga harus komitmen dengan jadwal jam kerja arubaito yang telah disepakati. Ada kalanya untuk beberapa pelajar yang membutuhkan biaya tambahan, arubaito tidak dilakukan hanya di satu tempat saja, tetapi juga dilakukan di 2 - 3 tempat arubaito sekaligus. Hal ini akan sangat menguras energi dan menjadi gangguan bagi pelajar yang tidak dapat mengatur waktunya sedemikian rupa agar keseimbangan antara studi dan arubaito yang dilakukan dapat berjalan seimbang.

Hal positif lainnya dari arubaito yaitu proses pengembangan diri, terutama dalam hal pengembangan softskills. Proses menjalani arubaito dapat menjadi sarana bagi pelajar untuk dapat mengenali secara langsung dunia kerja yang ada di lingkungan sekitarnya, serta menjadi tolok ukur apakah ilmu pengetahuan yang didapat selama menjalani proses belajar dapat diaplikasikean di tempatnya bekerja. Pengaplikasian kemampuan komunikasi, kerjasama tim, serta critical thinking ketika melakukan arubaito, juga dapat menstimulasi proses pengembangan kemampuan diri, serta menambah pengalaman sebelum nantinya terjun langsung untuk bekerja setelah lulus dari institusi pendidikan, ujar Bayu.

Bayu menambahkan bahwa budaya arubaito di kalangan pelajar di Jepang sudah sangat populer dan dianggap sudah menjadi salah satu bagian dari proses menjalani pendidikan wajib (gimu kyooiku) di negeri Sakura. Hal ini ditenggarai menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada pembentukan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Jepang yang ulet, tangguh dan “siap pakai” di dunia kerja.

Dengan segala benefit yang didapat dari proses menjalani arubaito, Bayu berharap di Indonesia ekosistem arubaito seperti itu dapat terwujud dan berjalan secara sistematis serta berkesinambungan. Karena selain dapat membantu menghasilkan SDM yang siap pakai, tentunya akan dapat menggerakkan sektor perekonomian secara lebih luas, jika semakin banyak UMKM atau para pelaku usaha yang sudah mapan tertarik untuk merekrut pelajar untuk arubaito di tempat kerjanya. Hal ini tentu akan lebih dirasakan manfaatnya, dibandingkan dengan menyaksikan para pelajar muda di Indonesia hanya sekedar nongkrong di kafe tanpa tujuan dan manfaat yang jelas, atau terlibat kenakalan-kenakalan remaja seperti yang marak kita lihat akhir-akhir ini, dikarenakan para pelajar tersebut tidak dapat mengekspresikan “energi” mudanya pada hal-hal yang positif dan konstruktif. Lebih jauh lagi, dengan menggalakkan budaya arubaito, harapan Bayu tentu saja bonus demografi yang digembor-gemborkan saat ini, nantinya betul-betul dapat memberi manfaat seluas-luasnya untuk pemerataan kesejahteraan serta kemajuan bangsa dan negara, dengan cara membentuk SDM yang tangguh dan ulet sejak dini, salah satunya dengan menggalakkan kegiatan seperti arubaito ini.

Seperti pepatah dalam Bahasa Jepang yang berbunyi sen ri no michi mo ippo kara, yang artinya sebuah kemajuan yang besar dimulai dari hal-hal sederhana yang dilakukan secara konsisten. Semoga hal-hal kecil seperti kegiatan arubaito ini dapat menjamur dan menjadi sebuah budaya positif di Indonesia, ditunjang dengan kegiatan-kegiatan positif mahasiswa lainnya, kata Bayu yang mempunyai banyak pengalaman beasiswa/hibah di Jepang.



Penulis     : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Foto          : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Posting Komentar

0 Komentar