Kebijakan Kampus Merdeka dan Peluang Besar bagi Pembelajar Bahasa dan Sastra Jepang

Dian Bayu Firmansyah, S.Pd., M.Pd. setelah selesai program Teacher Training di Hiroshima International Plaza, Hiroshima, Jepang.

Purwokerto, Kafapet-unsoed.com Semenjak menjadi kebijakan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menjadi salah satu perhatian Unsoed, Purwokerto. Melalui Program MBKM yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa/i untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karir di masa depan. Kemudian,elalui Program MBKM, mahasiswa juga diharapkan dapat memiliki kompetensi unggul dan siap menjawab berbagai kebutuhan masyarakat, ungkap Ir.Alief Einstein dari kafapet-unsoed.com usai bincang-bincang dengan Dosen Prodi S1 Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Unsoed Dian Bayu Firmansyah, S.Pd., M.Pd.

Beberapa waktu belakangan ini, dunia pendidikan Indonesia “dikejutkan” dengan beberapa terobosan yang digagas oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim. Berbagai gagasan baru yang ditawarkan, seolah menjadi gebrakan di dunia pendidikan Indonesia, yang dirasa “jalan ditempat” selama ini, kata Bayu (panggilan akrab Dian Bayu Firmansyah, S.Pd., M.Pd.

Tepat di awal tahun 2020 lalu, Nadiem kembali merilis sebuah terobosan untuk dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan yang digagas dan diberi tajuk “Kampus Merdeka” ini, ujar Bayu.

Selanjutnya Bayu tertarik untuk membicarakan lebih jauh mengenai kebijakan Nadiem, yang memberikan keleluasaan berupa hak kepada mahasiswa untuk belajar diluar kelas melalui program, magang di perusahaan, pengabdian masyarakat, dan lain-lain.

Bayu sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Studi Pendidikan Bahasa Jepang Indonesia (ASPBJI) menjelaskan bahwa tentunya hal ini memberikan peluang serta angin segar tidak hanya bagi para pelaku di dunia pendidikan tinggi (pihak kampus dan mahasiswa), akan tetapi akan dapat memberikan dampak yang signifikan bagi para pelaku usaha maupun masyarakat yang akan menjadi “mitra” dari pelaksanaan kebijakan ini.

Bagi para pelaku pendidikan di dunia pendidikan bahasa dan sastra Jepang, dirilisnya kebijakan ini tentunya menjadi “jalan keluar” untuk “melegalisasi” program pemagangan/internship yang beberapa tahun belakangan ini semakin “menjamur” dan menjadi favorit bagi para mahasiswa di kampus-kampus yang membuka program studi pendidikan bahasa maupun sastra Jepang, kata Anggota Asosiasi Studi Jepang Indonesia (ASJI) Bayu.

Bayu yang punya pengalaman kerja di Jepang menjelaskan bahwa kondisi negara Jepang yang saat ini kekurangan pekerja di usia produktif juga seakan menjadi timing yang sangat tepat bagi pemberlakuan kebijakan ini. Karena Jepang saat ini membuka peluang secara besar-besaran kepada para pekerja asing untuk datang dan bekerja di Jepang, untuk mengisi sektor-sektor pekerjaan yang agak kurang diminati oleh orang Jepang. Di lain pihak, kegiatan magang di dunia industri (salah satunya kegiatan internship di Jepang) yang merupakan salah satu dari 7 (tujuh) buah Bentuk Kegiatan Pembelajaran (BKP) program MBKM juga tentunya akan dapat memberikan peluang yang sangat besar bagi mahasiswa untuk dapat mendapatkan ilmu berupa praktik baik (best practices) di lapangan, yang dapat mendukung peningkatan skill mahasiswa (baik softskill maupun hardskill) serta mendukung dalam pemenuhan capaian pembelajaran yang ditargetkan. Selain peningkatan kompetensi kebahasaan, kemampuan manajeman waktu, kedisiplinan, kerjasama, dan lainnya, sangat mungkin akan dapat dicapai oleh mahasiswa selama proses mengikuti program internship di berbagai perusahaan dengan latar belakang bidang pekerjaan yang beragam.

Bayu yang juga punya pengalaman mendapatkan berbagai beasiswa/hibah di Jepang mengatakan bahwa jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia yang berjumlah sekitar 17.000.000, dan saat ini menduduki peringkat kedua di seluruh dunia juga menjadi sebuah “komoditi” yang menarik dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh para pelaku usaha serta dunia industri baik industri di dalam negeri maupun di Jepang. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya program pemagangan (internship) ke Jepang baik yang bersifat short term (3-6 bulan) maupun long term (1 tahun) yang ditawarkan di kampus-kampus. Program pemagangan ini juga sebagai salah satu solusi bagi Program Studi bahasa dan sastra Jepang yang kesulitan untuk mengirimkan mahasiswanya pada program student exchange dengan kampus-kampus favorit di Jepang. Melalui program pemagangan ini, sudah tentu akan meningkatkan kemampuan bahasa Jepang serta memberikan pengalaman bekerja di Jepang yang terkenal dengan sistem kerja yang cukup “keras” jika dibandingkan dengan di Indonesia. Selain itu, intaansei (mahasiswa internship) tersebut juga akan mendapatkan kompensasi berupa “tunjangan” yang besarannya ditenggarai dapat digunakan untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), segera setelah mereka kembali ke tanah air.

Bayu menjelaskan bahwa program pemagangan dianggap tidak secara langsung menyentuh 4 (empat) kompetensi utama berbahasa secara menyeluruh, yaitu membaca (Yomu), mendengar (Kiku), berbicara (Hanasu) dan menulis (Kaku). Para intaansei selama di Jepang sudah tentu menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, Sehingga Bayu sangat mengapresisasi gagasan Kampus Merdeka dari Nadiem, karena telah memberikan “payung” bagi pelaksanaan program pemagangan ke Jepang yang sejatinya memberikan dampak sangat positif yang cukup banyak bagi perkembangan belajar dari peserta didik.

Meskipun begitu, pihak Universitas menurut Bayu dalam hal ini Program Studi Bahasa/ Sastra Jepang sebagai unit yang menjadi fasilitator program internship, tetap perlu melakukan seleksi mendalam ketika memutuskan menjalin kerjasama dengan pihak perusahaan/lembaga mitra penerima para intaansei.

Peran dosen pendamping/pembimbing lapangan juga sangat vital mulai dari proses pra keberangkatan, selama proses internship dan pasca keberangkatan, agar esensi utama dari pelaksanaan program internship mahasiswa ke Jepang tidak melenceng dari target yang sudah ditetapkan oleh pihak Universitas dan Prodi, ujar Bayu

Walaupun begitu, kebijakan yang cukup revolusioner ini sudah seharusnya disambut dengan optimisme tinggi dari para pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan bahasa dan sastra Jepang, karena akan semakin membuka dan menyamaratakan peluang bagi para peserta didik yang memang memiliki keinginan serta tekad yang kuat untuk belajar ataupun bekerja di Negeri Sakura, ungkap Bayu.

Bayu menambahkan akarui mirai e mukatte, maemuki de tobidashimashoo (Mari kita sambut masa depan yang cerah dengan sikap penuh optimisme).



Penulis     : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Foto           : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Posting Komentar

0 Komentar