Foto bersama Tim Riset. |
Pekerja Migran Perempuan Indonesia (PPMI), mendapatkan berbagai persoalan ketika mereka bekerja di luar negeri. Masalah kesehatan menjadi yang paling umum dan dialami oleh 40 persen responden, bekerja tidak sesuai kontrak (22%), dan mengalami kekerasan seksual (5%), kekerasan fisik (8%), ungkap Dosen Ahli Migrasi Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed Dr.Tyas Retno Wulan,MSi., selesai bincang-bincang dengan Ir.H.Alief Einstein,M.Hum. dari kafapet-unsoed.com
Menurut Tyas (sapaan akrab Dr.Tyas Retno Wulan,MSi.) khusus untuk kekerasan seksual, diyakini data tersebut merupakan puncak gunung es, di mana data sebenarnya jauh lebih banyak. Tidak terungkapnya kasus kekerasaan seksual yang dialami PPMI dikarenakan banyak kendala yang dihadapi korban, baik kendala psikologis maupun kondisi pekerjaan. Hal itu terungkap dalam diseminasi hasil penelitian berjudul “Perlindungan Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dari Kekerasan Seksual (Studi Terhadap PPMI di Negara Penempatan (Hongkong) dan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah).” Riset dilakukan oleh Dr.Tyas Retno Wulan,MSi., sebagai Ketua Tim Risetnya, Prof.Dr. Muslihudin,MSi., Dr.Sulyana Dadan,SSos.,MA., dan Erwin Sunaryo,SKom.,M.Si., dengan di danai Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) tahun 2024 ini. Dalam paparannya, Tyas menjelaskan bahwa penelitian dilaksanakan selama 6 bulan sejak Juni 2024 - November 2024. Penelitian diawali dengan menyebarkan google form pada Komunitas Pekerja Migran di Cilacap dan Hong kong, serta responden lain dari Jawa Tengah dan negara lain.
Tyas mengatakan bahwa “Subyek adalah para PPMI yang sedang bekerja di Hongkong dan mantan/calon PPMI yang berasal dari Cilacap Jawa Tengah. Kenapa kami memilih Cilacap dan Hongkong? Karena kami punya pertimbangan bahwa Cilacap merupakan kabupaten nomor 1 (satu) pengirim PPMI di Jawa Tengah dan Hongkong yang selama 3 tahun terakhir (2021 - 2023) menjadi negara penempatan paling diminati PMI, berdasarkan data yang dimiliki pemerintah,” ujar Tyas. Lebih lanjut, Tyas menjelaskan bahwa kekerasan seksual yang dialami PMI meliputi berbagai bentuk, mulai dari menatap korban dengan nuasa seksual dan/atau tidak nyaman, mendapatkan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban, Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban, dan sebagainya. Meskipun mengalami kekerasan seksual, banyak PPMI yang tidak melapor kepada pihak yang berwenang Hal ini karena mereka khawatir diblack list pihak imigrasi karena belum finish kontrak. Akhirnya, mereka biasanya hanya bercerita kepada teman. Selain itu, banyak di antara mereka yang tidak tahu bagaimana cara melapor dan kepada siapa melapor, karena aksesbilitas yang terbatas (terutama PPMI yang baru datang). “Perlu keberanian juga untuk berani bicara (speak up) supaya PMI punya posisi tawar kepada majikan. Keberanian itu, salah satunya bisa dikembangkan jika PMI bergabung dengan organisasi. Hal ini karena dari data yang kami miliki, pihak yang paling sering dihubungi saat PMI mengalami kekerasan seksual adalah NGO atau organisasi PMI di negara tempat bekerja (37%), diikuti oleh Konsulat Jenderal RI (22%). Berikutnya adalah teman sesama PMI (18%) dan Agensi atau PPTKIS (10%),”’jelas Tyas.
Riset ini juga menemukan bahwa pihak-pihak yang dianggap paling harus bertanggung jawab melindungi PMI saat mengalami kekerasan seksual adalah KJRI (60 persen), kemudian Non Govermental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarajat (LSM) / Organisasi PMI (36%) dan perusahaan yang mengurus penempatan pekerja migran di Hongkong /AGENCY (27%). Oleh karena itu, perlu sinergi kuat antara Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), organisasi dan agency untuk mempermudah akses pelaporan kekerasan seksual dan sosialisasi tentang pencegahan kekerasan seksual kepada para calon PMI yang akan berangkat ke luar negeri.
Tyas menjelaskan bahwa temuan hasil riset mendapat tanggapan dari para pembahas, di antaranya Endah Rachmi Yuliarti (yang diwakili oleh Konsul Penerangan Sosial Budaya KJRI Hongkong), Konsul Ketenagakerjaan KJRI Hongkong (Tantri Darmastuti), dan organisasi yang selama ini mendampingi PMI di Hongkong, Rosidah (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia/ATKI dan Gabungan Muslim Migran Indonesia/GAMMI Hongkong), Purwanti (International Migrant Workers Union/IMWU Hongkong), Karsiwen (Kabar Bumi/Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia), dan Wahyu Nara (Persatuan Mahasiswa Universitas Terbuka/Perma UTHK). Secara umum, mereka berkomitmen untuk membantu PPMI yang mendapatkan persoalan kekerasan seksual.
Tyas menambahkan bahwa sebagai salah satu tanggung jawab Tim Riset, pada acara diseminasi tersebut, juga diluncurkan aplikasi save-ppmi.com. Aplikasi ini merupakan model pelaporan berbasis digital yang bisa diakses oleh semua PPMI ketika ingin melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Save PPMI ini adalah ikhtiar dan tanggung jawab kami sebagai tim peneliti, untuk dapat bersama-sama melindungi PMI dari berbagai kasus kekerasaan seksual yang di alami mereka di luar negeri. Launching web save-ppmi.com ini juga dilaksanakan bertepatan dengan hari Pekerja Migran Internasional yang diperingati setiap tanggal 18 September.
Penulis : Ir. H. Alief Einstein, M.Hum
Foto : Ir. H. Alief Einstein, M.Hum
1 Komentar
Alhamdulillah. Program yg sangat bagus. Sgt bermanfaat bagi para TKI kita yg di luar negeri agar lebih aman dan nyaman bekerja di negeri orang
BalasHapusJika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer