FGD Kementan - Unhas - HIMPUNI (FGD Bahas Tata Hubungan Pusat - Pemda untuk Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian)


Makassar, Kafapet-Unsoed.com. Kebijakan pengalihan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) ke pemerintah pusat mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3/2025 membutuhkan tata hubungan kerja Kementerian Pertanian (Kementan) RI dengan pemerintah daerah dan stakeholders untuk mempercepat terwujudnya swasembada pangan, ungkap Alumni Fakultas Pertanian Unsoed angkatan 1991 Dr.Tedy Dirhamsyah,SP.,M.A.B.

saat pemaparan yang dipandu Ir.H.Alief Einstein,M.Hum. dari kafapet-unsoed.com pada hari ini Senin 18 Agustus 2025.

Pentingnya tata hubungan kerja menjadi isu sentral pada Focus Group Discussion (FGD) bertema "Mekanisme dan Tata Hubungan Kerja Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian pasca Terbitnya Inpres No 3/2025" di Makassar pada hari Jumat 08 Agustus 2025, jelas Dr.Tedy yang juga Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian (Pusluhtan), Kementerian Pertanian.

FGD yang diinisiasi Kementan khususnya Pusluhtan BPPSDMP dibuka Kepala Pusluhtan, Dr.Tedy yang menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya Bustanul Arifin dari Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (KPP); Puguh Purnomo dari Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Muhammad Arsyad, Harris (HIMPUNI - IKA UNHAS) sebagai moderator; dan Consultant at Japan International Cooperation Agency (JICA) Rahim Darma.

Kegiatan FGD sejalan arahan Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman untuk sosialisasi, komunikasi,  dan diskusi tentang pengalihan PPL dari daerah ke pusat.

“Inpres No 3/2025 merupakan upaya Presiden RI Prabowo Subianto mencapai swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya, maka dibutuhkan peran dan kontribusi PPL di bawah satu komando, yakni Kementan,” katanya.

Inpres Nomor 3/2025, ungkap Mentan, menginstruksikan penyuluh yang sebelumnya di bawah kendali pemerintah daerah, maka dalam waktu satu tahun sejak berlakunya Inpres, akan dialihkan langsung ke Kementan.

Sementara Kepala BPPSDMP Kementan, Idha Widi Arsanti menekankan tentang peran vital penyuluh mendukung terwujudnya swasembada pangan nasional.

“Itulah pentingnya penyamaan komitmen dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan tersebut,” katanya.


Narasumber FGD lainnya antara lain KPPN Provinsi Sulsel, Darmawan Salman; akademisi Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas) Rusnadi Pajung; Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sulawesi Selatan, Muhammad Yunus; Ketua Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani) Sulsel, Kemal Redindo Syahrul Putra; Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Hatta Jamil dan Politani Pangkep, Junaedi Tjandring dengan Moderator Harris (IKA UNHAS - HIMPUNI).

Kepala Pusluhtan BPPSDMP Kementan, Dr. Tedy mengakan bahwa elaborasi tentang karakteristik kelembagaan ideal pasca pengalihan PPL ke pusat adalah satu komando, berbasis data dan teknologi didukung fasilitas memadai dengan hubungan kerja sinergi lintas sektor.

“Indikator keberhasilan antara lain peningkatan produktivitas, adopsi teknologi, efektivitas, dan sinergitas pendampingan pusat dan daerah,” katanya.

Bustanul Arifin menyoroti tentang regulasi, Inpres No 3/2025 dinilai ‘belum bergerak cepat karena kementerian dan lembaga (K/L) yang memperoleh instruksi belum menindaklanjuti secara signifikan; dan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) disebut belum mengoperasionalkan ‘sentralisasi’ PPL.

“Opsi mirip BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), pegawai pusat yang ada di daerah, operasional hubungan pusat dan daerah perlu ditegaskan lagi,” katanya.

Organisasi penyelenggara penyuluhan pertanian, ungkap Bustanul, perlu diperjelas dan lentur; pembina arah, pendidik, pembina, pelaksana, dan lainnya dalam skema sinergi-koordinasi-konsultasi seimbang antara lembaga birokrasi, riset, swasta dan petani.

Muhammad Arsyad dari Perhepi mengemukakan tentang adanya kekhawatiran pemerintah daerah akan kinerja penyuluh setelah ditarik ke pusat. Pemda tidak memiliki kewenangan mekanisme kontrol yang jelas, sehingga menyebabkan potensi perbedaan pandangan dengan kewenangan pusat.

“Aspek pembiayaan dan pengelolaan anggaran pusat dan daerah menjadi isu krusial. Pembagian kewenangan pusat dan daerah terkait Realokasi Anggaran dan Program Prioritas. Kejelasan proporsinya bagaimana?” Arsyad.

Sementara Konsultan JICA, Rahim Darma menyoroti tentang kasus penguatan kapasitas Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di Kabupaten Pinrang, Sulsel, Proyek JICA pada Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pada 2004.

“Satu fasilitator perempuan untuk dua kecamatan. Kelebihannya, fasilitator mampu mengajak petani untuk berkumpul atau rapat,” katanya.

Kelebihan perempuan, ungkap Rahim Darma, kalau ada anggota yang sulit diatur, maka pendamping mendatangi rumahnya dan berinteraksi dengan isteri petani. Caranya, ikut di dapur masak bersama, sekalian makan siang gratis.

Kegiatan FGD yang dilaksanakan oleh Kelsi Kelembagaan dan Ketenagaan Penyuluhan – Pusluhtan, selain menghadirkan sembilan narasumber juga hadir 14 peserta FGD di antaranya Wakil Dekan mewakili Dekan Fakultas Pertanian Unhas, Rismaneswati; Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Unhas, Andi Nixia Tenriawaru; Ketua Center of Excellence, Fakultas Pertanian Unhas ICDF Taiwan, Yunus Musa.


Penulis     : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Foto         : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Posting Komentar

0 Komentar