Dr. Mulyoto Pangestu, PhD Dari Penyimpanan Sperma, Transfer Embrio, hingga Bayi Tabung



Menjelang siang, Selasa, 2 Mei 2018 itu, Dr. Mulyoto Pangestu, PhD melayani sejumlah wartawan di satu ruang pertemuan Laboratorium Reproduksi Fakultas Peternakan UNSOED. Dosen Fakultas Peternakan UNSOED yang sekarang menetap di Australia dan mengajar di Monash University tersebut sedang berada di Indonesia untuk waktu yang singkat, 10 hari. Pertemuan yang pada undangan pertama disebutkan pukul 09.00 itu akhirnya baru dimulai sekitar pukul 10.30. Mulyoto menyempatkan mengikuti peringatan upacara Hari Pendidikan Nasional di Kantor Pusat UNSOED, serta menemui pimpinan fakultas.
“Saya tidak mungkin berdiri meninggalkan ruangan sementara di situ pimpinan fakultas masih duduk,” kata Mulyoto yang hari itu mengenakan hem putih dengan lengan panjang yang dilipat mendekati siku.
Tubuhnya terlihat jauh lebih gemuk dibanding akhir tahun 90an ketika penulis melihatnya keluar dari ruang Pembantu Dekan I Fakultas Peternakan. Pada saat itu Mulyoto yang sedang menempuh pendidikan S2 di Australia mengambil liburan pulang ke Indonesia. “Hasil” dari penelitian S2-nya itulah yang melambungkan nama Mulyoto sebagai ilmuwan. Ia meraih penghargaan bergengsi Young Inventors Awards dari The Far Eastern Economic Review pada tahun 2000.
Rambut Mulyoto juga sudah memutih semua. Meskipun demikian, tatapan mata yang tajam dengan senyuman yang ramah itu tidak berubah. Mulyoto terlihat benar berusaha memahami bahwa para wartawan yang mengerubutinya hari itu tidak semua berlatar belakang ilmu peternakan atau setidaknya memahami biologi reproduksi.
“Jadi gini, sapi perah itu tidak mungkin keluar susunya kalau tidak bunting,” katanya menjelaskan arti penting kebuntingan pada sapi perah.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi perhatian para wartawan yang ditanyakan kepada suami dari Lies Lestari yang memilih tinggal di Australia salah satunya demi fasilitas yang memadai yang tersedia bagi penderita difabel. Karena penyakit spinal muscular atrophy sejak remaja yang diderita istri Mulyoto, ia harus menggunakan kursi roda untuk mobilitasnya.

Dr. Mulyoto Pangestu, PhD


Penyimpanan Sperma Murah
Nama Mulyoto mendunia berkat penemuannya berupa teknologi penyimpanan sperma yang murah. Tahun 2000 ia mencari dan mempertimbangkan bagaimana menyimpan sperma yang efisien. Sejauh teknologi yang ada hingga saat itu, sperma, termasuk yang digunakan untuk inseminasi buatan, disimpan dalam tangki berisi nitrogen cair sebagai pendingin. Setiap minggu harus membeli nitrogen cair. Sementara itu, harga tangki juga tidak murah.
Didampingi supervisinya Jillian Shaw  dan pembimbing Alan Trounson, Mulyoto akhirnya menemukan bahwa sperma ternyata bisa disimpan dalam suhu ruang. Mulyoto melahirkan teknik penyimpanan yang efisien untuk sperma, yakni dengan alat tabung plastik dan aluminium foil sebagai pembungkus. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit.
Perkiraan biaya untuk metode ini hanya sekitar US 50 sen. Dari penemuan inilah Mulyoto mendapatkan penghargaan bergengsi Young Inventors Awards dari The Far Eastern Economic Review dan Hewlett-Packard Asia Pasifik.
“Cukup ditaruh di atas meja saja,” kata Mulyoto.
Ia menjelaskan, ide awal penelitian ini adalah adanya informasi bahwa beberapa sel bisa dikeringkan, dan lantas nanti hidup lagi. “Kita mencoba meniru perlakukan pada organisme itu. Kita coba sperma itu dikeringkan bisa tidak. Alhamdulillah hal itu bisa dilakukan,” kata Mulyoto.
Penelitian yang dijalani Mulyoto didukung oleh Monash University dan beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat. Pada tahap berikutnya, penelitian tersebut dilanjutkan oleh sejumlah perguruan tinggi di Amerika Serikat tanpa melibatkan Australia. Mulyoto sendiri pernah ditawari untuk pindah ke Amerika Serikat pada tahun 2004 untuk bisa ikut bergabung dengan proyek-proyek pengembangan teknologi penemuannya itu. Akan tetapi, dengan berbagai pertimbangan Mulyoto memilih tinggal di Australia.
“Waktu itu ada beberapa pekerjaan yang menyita tenaga dan waktu saya. Pada sisi lain, istri saya tidak tahan menghadapi cuaca ekstrem di sana,” ungkap Mulyoto.
“Mereka berkembang jauh lebih baik daripada apa yang saya kerjakan tahun 2000. Termasuk teknis penyimpanan, packaging dan sebagainya,” tambah Mulyoto.

Bayi Tabung
Meskipun penemuan Mulyoto fenomal, pada kenyataannya ia tidak meneruskan penelitian lanjutan. Mulyoto malah sekarang fokus pada pelayanan bayi tabung. Bayi tabung yang dimaksudkan adalah bayi tabung pada manusia, meskipun pada sisi lain ia kerjakan juga pada ternak.
Sebagai Kepala Laboratorium Education Program in Reproduction and Development (EPRD) Department Obstetrics and Gynecology, Mulyoto menyiapkan para petugas pelayanan bayi tabung.
Menurut Mulyoto, ada banyak hal yang perlu dijelaskan oleh petugas kepada keluarga yang hendak memanfaatkan jasa layanan bayi tahung. Dalam catatannya, di Indonesia, pemahaman antara pasien dan klinik penyedia layanan bayi tahung di Indonesia masih sangat kurang. “Salah satu tugas saya memperbaiki pelayanan di sana,” katanya.
Mulyoto juga mengungkapkan tenaga embriologis masih sangat kurang. “Di Indonesia, dokter mungkin sudah ratusan. Tetapi tenaga pengolah embrio sangat terbatas. Tidak ada yang nganggur, meskipun permintaan banyak sekali,” ungkapnya.
Meskipun demikian, perbandingan jumlah pelayanan bayi tabung di Indonesia dengan di Australia terpaut jauh. Di Indonesia, tahun 2014 pelayanan bayi tabung masih di bawah 1000 layanan. Sementara di Australia dengan jumlah pendudukan yang lebih sedikit telah mencapai 50.000 layanan.
Tingkat keberhasilan program bayi tabung secara umum menurut Mulyoto mencapai 30%. Sementara biaya program bayi tabung di Indonesia antara 60 sampai 80 juta rupiah. Bagi pasangan suami istri di Indonesia, biaya tersebut terhitung mahal. Sudah biaya mahal, belum tentu jadi. Hal itu menjadi tantangan dan pertimbangan tersendiri bagi pasangan yang belum memiliki keturunan. Mereka yang baru menikah mungkin tabungan belum cukup. Sementara ketika sudah mapan, usia mereka sudah memasuki 40 tahun, permasalahan lebih kompleks. “Kalau saya, pasangan suami istri yang baru menikah, menjalani hubungan seks normal, tiga bulan belum ada tanda-tanda, sebaiknya periksa ke dokter,” kata Mulyoto.
Ayah satu anak ini mengungkapkan data perkembangan pelayanan bayi tabung di Indonesia yang meningkat pesat. Hingga tahun 2004 layanan bayi tabung masih di bawah angka 1.000 layanan. Ketika artis Inul Daratista mengikuti program bayi tabung dan mengungkapkan secara terbuka pada masyarakat pada tahun 2008, tahun 2009 pelayanan bayi tabung naik menjadi 1.000. Tahun 2017 dilaporkan ada 9.000 pelayanan bayi tabung.

Embrio Transfer
Di Australia, sebagai bagian dari pengabdian masyarakat, Mulyoto bersama laboratoriumnya menyediakan embrio untuk para peternak. Hampir setiap dua minggu sekali Mulyoto pergi ke abatoar. Di situ Mulyoto mengambil ovarium dan ovum dari sapi-sapi betina yang dipotong. Ovum tersebut lantas dibuahi dengan sperma yang berasal dari pejantan yang bagus.
Embrio tersebut kemudian ditanam pada sapi-sapi perah. Dengan cara ini, Mulyoto membantu agar sapi perah bisa bunting.
“Begini, sapi betina itu bisa diperah kalau bunting, kalau tidak bunting tidak bisa diperah. Kalau bunting dengan pejantan yang biasa saja, akan mendapatkan anak yang biasa saja. Tapi kalau kita tahu embrio sapi potong, ketika lahir dia menjadi sapi potong yang bagus. Tetapi dengan teknik ini, sapi perah itu bunting anakan sapi potong. Ovumnya dari sapi potong, tetapi kita bisa beri sperma dari pejantan yang bagus. Maka ketika lahir, ada pedet-pedet yang lumayan bagus,” papar Mulyoto.
Dengan teknologi embrio transfer ini, diperoleh dua hal dalam satu langkah. Pertama, sapi perah yang bunting sehingga bisa memproduksi susu. Kedua, anakan sapi potong dengan kualitas yang baik.
Teknologi ini memungkinkan diterapkan di Australia. Di negeri Kanguru tersebut, seorang peternak bersekala kecil memiliki sapi setidaknya 500 ekor. Pada musim kawin (antara bulan September sampai Desember), dibantu seekor sapi pejantan yang menjadi pendeteksi berahi, petugas bisa menyelesaikan transfer embrio dalam dua minggu.
Menurut Mulyoto, teknik transfer embrio secara intensif tersebut akan kesulitan bila diterapkan di Indonesia. Jumlah 500 ekor sapi letaknya tersebar dan terserak di banyak tempat.
Meskipun demikian, Mulyoto menyebut ada satu sisi positif peternakan sapi di Indonesia. Dengan matahari yang stabil sepanjang waktu, memungkinkan sapi betina di Indonesia mengalami berahi sepanjang waktu. “Bila bulan ini gagal, bisa bulan depannya lagi,” tegas Mulyoto.
“Di Australia, kalau pada tahun ini gagal bunting, harus nunggu tahun depan. Tinggal peternaknya memutuskan, apakah mau dipotong atau menunggu,” tambah Mulyoto.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Alhamdulillah..
    Selamat Prof. Mulyoto Pangestu.
    Barakallahu fiika

    BalasHapus
  2. Alhamdulilla, selamat buat prof mulyoto

    BalasHapus

Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer