Kajian Kafapet ke 48 Bahas Cara Pandang dalam Beragama


Kajian Keluarga Alumni Fakultas Peternakan (Kafapet) Unsoed wilayah Jabodebeksuci yang ke 48 kembali dilaksanakan di kediaman Teguh Munajat angkatan 86, Ahad 2 Desember 2018 di Villa Japos Block H1 No. 25 Pondok Aren. Sebagai penceramah adalah Ustad DR. Didin dari Pengurus Masjid komplek Villa Japos.

Ketua Kafapet Jabodetabeksuci Roni Fadilah menyampaikan bahwa topik yang dibawakan ustad Didin cukup menarik. Mengutip pernyataan Ustad Didin, Roni menyampaikan bahwa setiap individu mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap agama, tetapi akhirnya bermuara dalam satu tujuan. Perbedaan dalam menjalankan syariah ini dimungkinkan karena banyak sekali contoh contoh waktu zaman Nabi Sollahu Alaihi Wassalam,  tetapi yang perlu dicatat,  semua perbedaan itu harus ada pijakannya, bukan berdasarkan hawa nafsu manusia.

Pijakan pertama dilandasi dengan adanya do'a yg wajib dibaca setiap hari minimal 17 kali,  yaitu surat Al Fathihah,  didalamnya ada ayat 6 yaitu ihdinashi-shirothol mustaqiim, artinya "Tunjukilah kami jalan yang lurus"

Arti Jalan itu sendiri ada 3 yaitu Shirot,  shabil dan syariah

- Shabil yaitu jalan kecil
- Syariah yaitu jalan yang berbeda
- Syirot yaitu jalan yang lurus atau jalan yang  luas.

Dicontohkan:
Perbedaan syariah dalam masalah Qunut di Sholat Subuh. Di Indonesia ada dua pemuka agama (Ulama)  yaitu Buya Hamka yang berpendapat tidak ada Qunut. Suatu waktu ada kedatangan tamu yaitu sahabat beliau Wahid Hasyim (Pendiri NU). Saat waktu subuh tiba,  Buya hamka menjadi imam,  tetapi dalam sholatnya pakai Qunut,  karena beliau menghargai Wahid Hasim yang Sholat subuh suka pakai Qunut.  Suatu waktu Buya Hamka bertamu ke Wahid Hasim,  pas berjamaah Subuh,  Wahid Hasim yang  jadi Imam,  dalam sholatnya tidak pakai Qunut karena menghormati Buya Hamka yang tidak pakai Qunut.

Contoh kedua,  cerita Saat di jaman Rosulullah Shollallahu Alaihi Wassalam. ada sahabat suami istri yang bertengkar,  kemudian saat bertengkar suaminya berkata "Demi Allah,  aku tidak akan menyentuh kamu sampai suatu waktu".

Pada suatu waktu suaminya "mengajak" istrinya,  dan Istrinya tidak mau,  karena suaminya sudah "bersumpah". Dalam kasus ini,  sahabat tersebut langsung bertanya ke sahabat yaitu :
1. Abu bakar Rodhiallahu anhu (ra),  beliau bawakan dalil dari surat Al Baqoroh,  maka pendapat Beliau sudah jatuh talak 3.
2.  Pergi ke Umar ra , Sahabat Umar membawa dalil dari surat Al Ihsan,  maka beliau berpendapat  bahwa sahabat tersebut dapat kafarat jangan berhubungan suami istri selama 40 tahun,
3. Pergi ke sahabat lainnya yaitu Usman ra, Usman ra membacakan surat Ali Imron,  "buah itu berbuah pada musimnya,  dan tunaikan lah kewajibannya". Sahabat tersebut dapat kafarat selama satu tahun.
4. Pergi ke sahabat Ali ra,   Sahabat Ali ra membawakan dalil dari Al Quran,  dan menyimoulkan kafaratnya hanya sehari semalam.

Melihat ada 4 jawaban yang berbeda,  lalu sahabat tersebut mengadu ke Rasullullah saw. Lalu ke 4 sahabat dipanggil semua.

Para sahabat tersebut ditanya satu satu, dan semua pendapat sahabat dengan membawa dalil masing masing dibenarkan oleh Rasullullah saw. Lalu Rasulullah saw bersabda :
"sahabat-sahabatku bagaikan bintang di langit,  yang  memberikan jalan buat umat"

Di penutup kajian,  Ustad DR Didin sekali lagi menegaskan bahwa dalam menjalankan syariah akan dijumpai perbedaan,  tetapi perbedaan tersebut bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi harus disandarkan kepada sandaran (dakil) yang kuat.

Dalam kajian tersebut,  Wiseno Nurhamzah angkatan 83 memberikan ulasan lebih lanjut,  yaitu sbb

Catatan atas kajian kafapet 2/12/18 (Wiseno Nurhamzah)

Yang saya pahami

Shirat al-Mustaqim (Arab: الصراط المستقيم, Ash-Shirāthal Mustaqiym) adalah sebuah frasa dalam surat Al Fatihah. Kalimat ini secara harfiah memiliki arti "jalan (yang) lurus". Para ulama ahli tafsir baik dari kalangan sahabat ataupun dari para tabi'ut dan tabi'ut tabi'in, telah banyak memberikan penjelasan tentang arti dari shiratal mustaqim.

Etimologi
Kata ash-shiraath (الصراط) diambil dari kata saratha (سرط) dan karena huruf sin (س) dalam kata ini bergandengan dengan huruf ra (ر), maka huruf sin (س) diucapkan shad (ص). Asal kata ash-shiraath sendiri bermakna "menelan". Jalan yang lebar dinamakan shiraath, karena sedemikian lebarnya sehingga jalan itu bagaikan menelan pejalannya.

( kecuali tadi .... Mungkin  belum saya dapati tafsir "shirat" dengan arti luas / lebar sehingga dijadikan sebagai alasan untuk menerima perbedaan yang demikian luas dalam banyak hal dalam Islam...... padahal... )

Perbedaan penjelasan para ulama tentang makna shiratal mustaqim tidaklah saling bertentangan satu sama lain, bahkan saling melengkapi. Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa shiratal mustaqim adalah agama Islam yang sangat jelas dan gamblang, yang harus diilmui dan diamalkan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga bisa menjadikan pelakunya masuk ke dalam surga Allah Ta’ala.
*Jalan inilah yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya*.

Shiratal Mustaqim Hanya Satu

Shiratal mustaqim yang merupakan jalan kebenaran *jumlahnya hanya satu dan tidak berbilang*, Allah Ta’ala berfirman :

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa“ (Al An’am:153).

Hal ini dipertegas oleh penafsiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat di atas.  Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda, “ Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau membuat garis-garis yang banyak di samping kiri dan kanan garis yang lurus tersebut. Setelah itu beliau bersabda , “Ini adalah jalan-jalan (menyimpang). Di setiap jalan tersebut ada syetan yang menyeru kepada jalan (yang menyimpang) tersebut.“ (H.R Ahmad 4142).(Lihat Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiil Al Qur’an)

https://muslim.or.id/10648-shirathal-mustaqim-petunjuk-jalan-yang-lurus.html

Sumber artikel dan Foto: Roni Fadilah

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Alhamdulillah
    Kajian Kafapet Unsoed Jabodetabeksesuci Istiqomah

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, ngereyeuh selalu jalin tali silaturrahim dimanapun berada

    BalasHapus

Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer