Jakarta, Kafapet-Unsoed.com. Media Nasional KONTAN, 23 Mei 2019 memuat artikel karya Zainal Abidin, alumni Fapet angkatan 1987 yang aktif sebagai pegiat kagiatan sosial inovatif antara lain melalui Institut Kemandirian, serta sebagai motivator. Ia juga sering menjadi narasumber talkshow radio dan TV dengan berragam topik bahasan, serta aktif menulis buku serta opini di berbagai media cetak nasional.
Artikel tentang "Bisnis Sosial dan Pembiayaan Inovatif " yang dimuat di Kontan cukup menarik untuk disimak karena memberikan wacana baru tentang kegiatan bisnis digabung dengan kegiatan sosial dengan sistem pembiayaan yang inovatif. Tulisan ini disusn Zainal Abidin bersama Jalal (Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA). Berikut saya kutip dari akun facebook Zainal Abidin
POJK tersebut merupakan regulasi payung belaka, yang perlu dibuatkan regulasi yang lebih spesifik. Di penghujung 2017, salah satu regulasi itu muncul, yaitu POJK tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan _(Green Bond)._ Di dalamnya dinyatakan ada 11 bidang usaha yang bisa dibiayai dengan green bond, yaitu energi terbarukan; efisiensi energi; pencegahan dan pengendalian polusi; pengelolaan sumberdaya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan; konservasi keanekaragaman hayati darat dan air; transportasi ramah lingkungan; pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan; adaptasi perubahan iklim; produk yang dapat mengurangi penggunaan sumberdaya dan menghasilkan lebih sedikit polusi; bangunan berwawasan lingkungan yang memenuhi standar atau sertifikasi yang diakui nasional, regional atau internasional; dan kegiatan usaha dan/atau kegiatan lain yang berwawasan lingkungan lainnya.
Bidang-bidang itu sangatlah terkait dengan kerja-kerja bisnis sosial, khususnya yang bergerak dalam pemecahan isu-isu lingkungan. Namun demikian, karena bond biasanya dikeluarkan dalam jumlah besar, maka para pebisnis sosial perlu untuk memikirkan skala usaha yang relatif besar untuk bisa memanfaatkan instrumen keuangan tersebut. Atau, mereka perlu membuat kumpulan projek yang secara agregat jumlahnya cukup besar sehingga bisa mencapai skala keekonomiannya.
OJK sendiri tercatat pernah menjajaki pembiayaan sosial yang ditujukan untuk penanganan isu-isu seperti kesehatan, pendidikan, dan penghilangan kemiskinan. Dua instrumen sempat dibicarakan, yaitu social finance investment fund_ dan _social impact bond. Namun, hingga sekarang belum diwujudkan di dalam POJK. Kalau suatu saat ini bisa terwujud menjadi regulasi, maka ada lebih banyak lagi bisnis sosial yang bisa memanfaatkan instrumen keuangan inovatif seperti ini.
Ada beberapa inovasi pembiayaan untuk perusahaan sosial yang digagas di seluruh dunia. Kini keuangan bercampur (blended finance) semakin popular. Inovasi ini menggabungkan dana komersial dan non-komersial sehingga sangat cocok untuk dipertimbangkan oleh bisnis sosial yang memang misinya bercampur (blended value). Ada juga instrumen inovatif yang di antaranya digagas oleh Bill and Melinda Gates Foundation, yaitu garansi pinjaman. Alih-alih memberikan investasi langsung, garansi pinjaman diberikan oleh pihak ketiga yang percaya kepada potensi bisnis sosial yang digaransinya agar bisa mendapatkan pinjaman komersial.
Kalau pengumpulan dana sudah biasa dilakukan untuk donasi, kini berkembang juga pengumpulan dana untuk diinvestasikan di perusahaan sosial. Kerap juga dilakukan dengan mencampurkan antara donasi dan investasi, yang memang sah di dalam konsep bisnis sosial, sepanjang penghasilan yang diperoleh secara bisnis bisa lebih besar daripada donasi. Yang lebih canggih lagi adalah pasar modal khusus untuk bisnis sosial, yang kini sudah berjalan di Inggris (Social Stock Exchange), Kanada (Social Venture Connexion), Amerika Serikat (Mission Market) dan Singapura (Impact Exchange). Di pasar modal itu, kinerja keuangan dan dampak sosial dan lingkungan benar-benar ditimbang dengan serius untuk memberi valuasi yang tepat atas harga sahamnya.
Berbagai instrumen keuangan inovatif seperti itu akan terus berkembang seiring dengan popularitas model bisnis sosial yang melesat dalam beberapa tahun belakangan. Popularitas itu, tentu saja, dibarengi dengan kebutuhan pendanaan yang semakin besar; dan lantaran peluang keuntungannya yang juga besar, maka semakin banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di bisnis sosial.
Tetapi, apapun inovasi pembiayaan yang dilakukan itu, para pakar menyatakan bahwa pengukuran, pelaporan, serta pemantauan dampak sosial yang lekat adalah kunci keberhasilannya. Tentu saja, aspek finansialnya tak bisa diabaikan begitu saja. Menggabungkan penilaian keuangan dan dampak itulah yang menjadi tantangan tersendiri. Setiap investor yang jeli dan benar-benar ingin hanya menanamkan modalnya di bisnis sosial yang baik tentu akan bertanya soal dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari setiap dolar atau rupiah yang diinvestasikannya.
Oleh karena itu, para pebisnis sosial makin penting untuk menguasai teknik-teknik pengukuran, pelaporan, dan pemantauan dampak sosial dari bisnisnya. Sudah ada beberapa metodologi yang diakui kehandalannya di level global. Artikel kami berikutnya akan membahas metodologi-metodologi itu.
Zainal Abidin, Alumni Fapet unsoed angkatan 1987, Pegiat Kemandirian, Dompet Dhuafa
0 Komentar
Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer