Nurtania Sudarmi, S.Pt., MP. : Kembangkan Burung Puyuh di Kepala Kaswari

Suatu sore tiga anak mampir ke tempat Nurtania Sudarmi. Satu anak perempuan yang menggendong bayi yang juga bernama Tania, dan satu anak lelaki berumur sekitar tiga tahun. Mereka membeli telur ayam. Setelah pulang, selang beberapa menit kemudian mereka datang lagi tanpa adik bayi.
“Boleh tukar dengan telur puyuh?” kata yang terbesar.

Nurtania, alumni Fakultas Peternakan Unosed angkatan 2005 senang melayani masyarakat setempat. Mereka sudah mulai mengenal telur puyuh yang diproduksi unit kerjanya. Telur-telur tersebut adalah telur hasil puyuh budidaya. Sebelumnya sebagian mahasiswa setempat mengenal puyuh sebagai binatang liar belaka.

“Bagaimana Ibu bisa menangkap burung liar sebanyak ini?” begitu pertanyaan yang pernah muncul.
Kegiatan memelihara burung puyuh merupakan satu dari kegiatan Nurtania sebagai pegawai di Politeknik Pembangunan pertanian (Polbangtan) Manokwari, Papua Barat. Sebagai calon dosen, Nurtania juga membantu mengajar, menulis artikel berlembar-lembar yang dikirim ke pusat, dan membantu mengumpulkan data-data.

“Selain menyebarkan manfaat lewat tulisan, di Perguruan Tinggi Vokasi Kementan ini saya juga mendapat amanah untuk mengurus Instalasi Penetasan dan Pengelolaan Pakan. Menarik, hasil rapat per-30 September 2019 dinyatakan Per-1 Okober 2019 saya diberikan tugas tambahan untuk mengelola instalasi tersebut,” kata kelahiran Jakarta, 6 September 1987 ini.

Giliran berikutnya adalah bagaimana mencari dan mendapatkan telur fertil. Ketika awal pencarian diperoleh lebih dari 60 butir telur. Apa yang terjadi, ternyata tidak satu pun telur menetas. Instalasi belum mendapatkan tempat yang memadai, sementara listrik sering mati.

Untuk mendapatkan telur fertil Nurtania harus mencari ke pemukiman transmigran. Ia harus menempuh perjalanan berjarak sekitar 60 kilometer. Beruntung ada mahasiswa yang mau menemani. Dari Udapi Hilir, Prafi, Nurtania membawa pulang 50 butir telur. Berapa yang menetas? Ternyata 14 ekor anakan ayam dapat keluar dari cangkangnya. Selepas merelakan satu ekor untuk praktikum, kini 13 ekor tetasan tersebut tumbuh sehat. 


Ketika ada bagian mesin tetas yang mengalami korsleting, Nurtania harus tampil sebagai teknisi. Ia belajar mengenai elektrik mesin tetas di Malang. Kebetulan ada kesempatan pelatihan di Kota Apel tersebut. Nurtania mengambil kesempatan senggang untuk mencari perakit mesin tetas. Oleh-olehnya, satu set kabel mesin tetas yang kemudian “menyembuhkan” mesin tetasnya di Manokwari.

Kembali soal puyuh, dari awal 80 butir yang ia tetaskan, kini telah mampu menetaskan sejumlah 250 butir. “Dari penetasan bulan Februari yang lalu, sekarang berkembang dan diperoleh puyuh generasi ke-2,” ungkap Nurtania.
Ia berharap dengan berbagai dukungan, baik pengusaha maupun para peternak lokal, ke depan dapat mendorong pengembangan budidaya burung puyuh lebih luas lagi. Menurutnya dulu ada masa di mana burung puyuh berkembang besar di Manokwari.

Dorongan Keluarga

Keputusan untuk bekerja di Papua Barat adalah hasil dialog dengan orang tua Nurtania. Orang tuanya menginginkan putrinya tersebut menjadi Dosen. Ketika menemukan lowongan calon dosen di Politeknik Kementan, Nurtania dan keluarga memilih di Manokwari.

“Ya sudah, di sana saja. Kebetulan belum pernah menginjak bumi Kaswari,” kenang Nurtania mengenai masa awal tersebut.
Manokwari berjarak sekitar 10 menit dari Bandara Rendani. Hal ini memperkuat kepercayaan orang tua mengingat ayahnya bekerja dalam bidang penerbangan. Akan hal bidang pekerjaan ayahnya ini sesungguhnya bisa ditebak dari nama Nurtania. Nurtania dari kata nurtanio. Nurtanio adalah salah satu tokoh penerbangan Indonesia.

“Seharusnya nama saya Hasanudin karena Papa dan Mama bertemunya di proyek Bandara Hasanudin Makasar. Tetapi ternyata anaknya perempuan,” ucap Nurtania sembari tersenyum.
“Kalau Sudarmi berasal dari nama nenek dari Bapak. Kami menyebutnya Mae. Almarhumah orang perkasa,” tambahnya.

Nurtania mengaku dirinya sebagai anak bandel. Terlebih ketika menjalani masa studi di Fakultas Peternakan Unsoed. Meskipun mental bandelnya dominan, di hatinya menyimpan benang-benang dawai yang halus. Ketika kepadanya diminta cerita kenangan yang masih kuat terkait kampus dan dosen, Nurtania langsung tersekap haru. Nurtania ingat dosen pembimbingnya.

“Beliau menjadi dosen panutan saya, pembimbing saat S1 maupun saat menjalani S2. Dosen yang menjadi inspirasi saya;  Bu SNO Suwandyastuti. Beliau pernah bilang, ‘Nur, ada omongan orang bisa diletakkan di atas meja, diletakkan di lemari, atau dibuang di tempat sampah’,” kenang Nurtania.
“Aduh, jadi haru,” susulnya.

Kini setelah beberapa bulan pandemi membatasi pergerakan masyarakat, Nurtania harus menunda kepulangan ke Jawa. Segala rasa rindu harus ia tangguhkan. Sebelum pandemi, Nurtania bisa saja dalam satu bulan beberapa kali pulang ke Jawa, terutama ketika ada perjalanan dinas. Ia sepakat ketika membaca sebuah kalimat, ‘Simpan air mata untuk hari yang lebih berat lagi.’
Oleh karena itulah, pemeliharaan burung puyuh lantas bukan hanya sekedar salah satu kegiatannya sebagai bagian Polbangtan tetapi juga pengalih rindu selama bertugas di daerah Kepala Burung Kaswari, Manokwari, ibukota Papua Barat.

Sutriyono

Posting Komentar

4 Komentar

Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer