DISKUSI WAG KAFAPET: TENTANG BISNIS UNGGAS HINGGA KEMENTERIAN PETERNAKAN


Kafapet-Unsoed.com. Tidak seperti lebaran tahun-tahun yang lalu, pasca lebaran tahun 2018 ini harga ayam dan telur mengalami "perbaikan" dari sudut pandang peternak.  Harga di konsumen pun mengalami kenaikan, sehingga terjadi keresahan di masyarakat. Pemerintah baik di Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Satgas Pangan , Pemda dan lembaga terkait lainnya sibuk mengadakan rapat koordinasi untuk mencari penyebab terjadinya lonjakan harga dan berusaha menurunkan harga ayam dan telur. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan membentuk Tim Analisa Supply-Demand Unggas, dimana hasil analisa tim menyimpulkan bahwa tidak ada kekurangan pasokan unggas untuk masyarakat.

Di tengah polemik supply demand, memasuki September 2018 harga ayam mengalami penurunan tajam di tingkat peternak. Di Jawa Tengah harga ayam bahkan hanya 13.000/kg hidup. Namun harga ayam di konsumen nyaris tak beranjak turun, Kalau mengalami penurunan pun tak seimbang dengan penurunan di peternakan. Terjadi asimetris harga, kata pakar ekonomi.

Sementara itu harga DOC tidak juga beranjak turun, sehingga hal ini menambah penderitaan peternak. Muncul kesan, terjadi kelangkaan DOC, yang menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kelangkaan ayam dalam periode berikutnya. Atau ini permainan perusahaan besar yang disinyalir mampu merekayasa harga? Apa sebenarnya yang terjadi? Kasus seperti ini sebenarnya sudah berulang kali terjadi. Apa solusinya?

Bagaimana pula tanggapan warga Kafapet Unsoed terhadap situasi ini? Sebagian warga Kafapet Unsoed adalah praktisi perunggasan yang sudah malang melintang puluhan di dunia perunggasan di berbagai wilayah Indonesia. Ada yang saat ini menduduki posisi eksekutif di pabrik pakan, breeding farm, obat hewan, perusahaan kemitraan unggas, ada juga pengusaha budidaya unggas. Banyak juga yang di pemerintahan baik di Pusat maupun daerah. Dan tentu saja ada yang di industri lain yang relevan, serta juga ada pengamat.

Karena demikian lengkap profesi para alumni Fapet, maka diskusi perunggasan Kafapet melalui group Whatsapp layak untuk ditulis di webiste ini.

Problem Data Yang Simpang Siur

Tabah Dwi Sasongko
Tabah Dwi Sasangko alumni Fapet angkatan 2000, yang berkerja di salah satu perusahaan PMA memposting tabel Produksi DOC Broiler Komersial. Dari tabel yang bersumber dari Ditjen PKH tersebut,  disimpulkan bahwa produksi DOC surplus, yang artinya Indonesia tidak kekurangan ayam. Namun anggota group yang sebagian adalah pelaku usaha perunggasan mengaku saat ini peternak sangat sulit mendapatkan DOC dan harganya juga  di atas harga normal. Harga di tingkat Pembibitan sekitar Rp 6.500-7.300, rataan di sekitar Rp. 7.000, sedangkan di level broker  di kisaran Rp 7.500-8 000. Pertanyaannya, kalau DOC surplus kenapa harga naik? Padahal DOC termasuk komoditi yang sangat sensitif dengan situasi keseimbangan supply-demand.

Subagyo
Melihat data yang terjadi, peserta mempertanyakan validitas data yang dikeluarkan pemerintah. Roni Fadilah, salah satu aktivis Kafapet berpendapat bisnis perunggasan sering gonjang ganjing salah satunya adalah akibat dari tidak pernah ada data yang sama antara lembaga pemerintah maupun swasta. "Data Badan Pusat Statistik (BPS),  Kementan, Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU)  dan Peternak apakah sama? : tanya Roni.

Salah satu alumni angkatan 88 yang memiliki usaha restoran dan berpengalaman di industri perunggasan,   berpandangan bahwa data "surplus unggas" yang disajikan pemerintah sebaiknya tidak sebagai dasar untuk kalkulasi bisnis. Itu merupakan data yang dipakai hanya sebagai dasar untuk mencegah masuknya impor daging beku dari luar negeri.  "Dari data tersebut pemerintah ingin menunjukkan bahwa negara kita sudah surplus daging ayam broiler,"ujarnya. 

Seperti diketahui, awal tahun 2018 Indonesia mendapat ancaman masuknya ayam dari Brazil karena Brazil memenangkan gugatan di WTO yang menuduh Indonesia terlalu memproteksi perunggasan dan melanggar aturan WTO. Belakangan USA juga berniat menuntut denda 5 triliun kepada Indonesia atas kebijakan Indonesia yang , menurut USA, melanggar aturan WTO dalam kebijakan peternakan.

Disinyalir munculnya data surplus DOC sengaja dikeluarkan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kekurangan DOC yang artinya masih mampu untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Bahkan data ekspor unggas baik ayam beku maupun DOC beberapa kali dirilis pemerintah.

Dalam diskusi tersebut terjadi silang pendapat di antara group Keluarga Alumni Fapet Unsoed,  diantaranya Subagyo yang bergerak dibidang Kemitraan, Masrur Sumeri yang telah lama berkicimpung di perusahaan perunggasan, Wiseno Nurhamzah,  Iman Rajawikarta, Agus,  Imam Suhadi, Bambang Suharno, Puji Hartono, Farid Dimyati dan yang lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum,  kelangkaan DOC dan harga tinggi,  harga pakan yang terus naik ,  biaya ekspedisi dan juga biaya operasional yang terus meningkat menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) ayam hidup per kg naik,  tetapi harga ayam hidup saat ini (pertengahan September 2018) di bawah HPP sehingga peternak sangat dirugikan. Di lain pihak harga di konsumen tetap bertengger tinggi. 

Seorang alumni yang bekerja di Dinas Peternakan di Pati Jawa Tengah mengatakan harga ayam di pasar masih 30 ribu, padahal di kandang harga ayam hidup  hanya sekitar 15.000 bahkan ada yang 13.000/kg.jauh di bawah pasar. Data harga PinsarIndonesia.com menunjukan hampir di seluruh Jawa dan Sumatera harga ayam di peternak anjlok di bulan September 2018.

Roni Fadilah
Menurut Roni Fadilah, di tengah harga ayam yang merosot, yang bersamaan dengan kelangkaan DOC, konon dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan di bidang perunggasan  terpadu,  untuk melakukan sistem "Kawin Pakan" yaitu setiap DOC yang dibeli peternak harus menggunakan pakan dari perusahaan tersebut sebanyak 1 ekor DOC = 2-3 kg pakan.  Kebijakan tersebut bagaikan pisau bermata dua,  jika tidak mau,  maka DOC tidak didapatkan dan peternak kandangnya kosong alias usahanya berhenti.

Farid Dimyati langsung memposting hasil repotase yang  telah dimuat di majalah Perunggasan Nasional. Dari postingan tersebut menggambarkan kondisi terkini perunggasan di Indonesia, intinya kondisi sekarang sedang surplus produksi DOC . Sedangkan Bambang Suharno mengutip data Pinsar Indonesia , mengatakan, saat ini budidaya ayam broiler  sudah sangat berbeda dengan 30 tahun lalu dimana saat itu mayoritas pelaku budidaya adalah peternak mandiri. Hal senada disampaikan Roni, yang menyatakan di wilayah Bogor saja peternak mandiri tinggal beberapa orang saja.

Seorang alumni yang telah lama berkecimpung di Perusahaan Besar Nasional di Indonesia menganalisa dari sudut pandang lain tentang kenapa DOC  (terkesan) langka.  Ia mengatakan, data impor GPS tahun  2014 sebanyak 850.000 ekor/tahun, kemudian tahun 2016 turun menjadi 650 ribu/tahun, atau terjadi penurunan sebesar  26 %. Nah, pada saat terjadi impor 850 ribu, semua peternak/perusahaan mempersiapkan kandang dan armada penjualan untuk 850 ribu GPS (impor GPS berdampak pada kenaikan supply PS dan FS). Ketika terjadi penurunan impor, kandang perusahaan besar sudah siap dengan kapasitas GPS 850 ribu, padahal kemudian yang diimpor turun 26 %.  Inilah yg membuat "seolah-olah" kurang . Walaupun belum ada jaminan bahwa pasokan DOC kurang dari permintaan . Faktor lainnya yang perlu dicermati adalah problem penyakit di GP maupun PS farm karena efek dicabutnya AGP (Antibiotic Growth Promoter) sejak awal 2018, yang ikut menjadi penyebab DOC hari ini (september 2018) sepertinya langka.

Pendapat tersebut langsung ditanggapi oleh Roni Fadilah . "Betul , kebijakan tersebut diambil karena sebelumnya oversuplai, dimana harga DOC waktu itu ada yang hanya Rp 500/ekor bahkan digratiskan asal ambil pakan. Pemerintah mengurangi izin Import GPS agar tidak oversuplai DOC .

Program ini "berhasil". Artinya harga DOC stabil,  tidak fluktuatif tajam dan selalu di atas Rp 4.500.
Artinya suplai sudah tertata  . Permasalahan muncul,  tak kala harga DOC di atas Rp 6.500,  sementara raw material Feedmill membubung tinggi,  akibatnya HPP (Harga Pokok Produksi) naik,  sedangkan harga ayam masih tetap di kisaran Rp 16.000-21.000.

HPP (Konservatif)  posisi sekarang (September 2018) menurut Roni di kisaran Rp 17.300. Dengan catatan kematian masih dikisaran 5 persen. Atau HPP ini nyaris setara dengan IP (Indeks Performans) kisaran 320. Jadi kalau IP di bawah itu, (harga DOC dan Pakan kondisi sekarang), peternak masih rugi. "Tapi kalau DOC kisaran Rp 5.000,  harga pakan kisaran Rp 6.650, dengan IP 320 peternak masih untung sedikit,"kata Roni.

Perlu Kementerian Peternakan?

Wiseno Nurhamzah , menyampaikan sudut pandang dari orang yang tidak langsung berkecimpung di perunggasan. Ia mengaku  sangat prihatin melihat kondisi peternakan ayam sekarang ini.  Sehingga perlu mendesak Penerintahan yang akan datang dibentuknya Kementerian Peternakan.  Seruan ini langsung diaminkan sama peserta diskusi.  Kementerian Peternakan memang dipandang sudah mendesak supaya setiap perencanaan, produksi dan permasalahan bisa diselesaikan dengan cepat dan tuntas.

Peserta diskusi berpandangan untuk mengatasi gejolak perunggasan harus dimulai dengan sistem data unggas yang valid, sehingga keputusan yang diambil pemerintah tidak keliru. Khusus untuk kasus yang terjadi saat ini, pemerintah bersama pemangku kepentingan perlu duduk bersama mengatasi masalah kelangkaan DOC,  tingginya harga DOC dan Pakan,  serta rendahnya harga ayam hidup yang sangat merugikan peternak.

Untuk jangka panjang, mengingat perunggasan memiliki peran strategis sebagai penyedia protein hewani yang murah dan dapat menghasilkan devisa melalui pengembangan ekspor,  selayaknya Kabinet yang akan datang perlu membentuk Kementerian Peternakan.

Menurut catatan redaksi, saat ini perputaran bisnis unggas mencapai lebih dari 300 triliun rupiah, menyerap tenaga kerja 3 juta orang, menjadi penyerap komoditi pertanian khususnya jagung dengan total daya serap lebih dari 9 juta ton per tahun. Produksi pakan unggas tahun 2017 mencapai lebih dari 18 juta ton, sementara pakan ikan hanya sekitar 10 persen dari pakan unggas.

Saat ini Indonesia adalah produsen telur no 8 dalam peringkat produsen telur dunia, dan dalam hal produksi daging ayam Indonesia dalam kisaran peringkat 10 atau 11.  Ini baru bicara unggas.  Indonesia masih punya potensi peningkatan populasi sapi potong, sapi perah, kambing, domba dan ternak lainnya yang diyakini dapat berkembang lebih pesat jika ditangani oleh sebuah kementerian tersendiri.***



Posting Komentar

1 Komentar

Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer